Untuk memulai menulis tentang Armin Salassa sebenarnya ada ragu dan rasa tak sanggup, dipikiran untuk memulai dari mana dan kemana arah tulisan kadang menghantui. Jangan sampai salah.
Tapi segala sesuatu biasanya di awali dari kesalahan (gagal) agar ada pengingat untuk bisa lebih baik. Namun jangan dibiasakan..!!
Armin Salassa saya menyebutnya “The Legend” (Sang Legenda). Dalam konteks bahasa “The Legend” bukan hanya apa yang tertulis secara teks tapi ada makna di balik teks tersebut. Makna itu bisa ditelusuri dari dan seperti apa Armin Salassa.
Dalam dunia gerakan sosial, khusus bagi entitas tertentu di kampung-kampung, Armin Salassa mengambil bagian penting dari Entitas tersebut, ya entitas yang dibilangkan kaum marjinal, pinggiran dan semacamnya di Pedesaan. Di kota besar metropolitan dan megapolitan entitas itu juga ada.
Pria ini lahir di Kampung Bulukumpa Toa (Salassae) tahun 1969-11-11 dari keluarga sederhana. Ia merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Dia didik dengan kultur kampung yang melekat kental sebagai masyarakat nusantara lainnya. Ia cukup beruntung karena anak seusianya bisa di sekolahkan oleh orang tua meski dengan beban yang tak semudah sekarang.
Cukup sulit memotret bagaimana proses ia sebelum mendirikan Komunitas Swabina Pedesaan Salassae (KSPS), namun dari beberapa informasi sahabat yang mengenal beliau umumnya dia anggap sebagai “Guru” yang konsisten di garis perjuangan kaum “pinggiran”.
Pandangan Agama menyebutnya Kaum Mustadafin, ada juga yang membilangkan sebagai kaum “Lemah” begitulah “Pinggiran”. Ilmuwan juga punya pandangan berbeda secara teks, namun makna subtansi sama.
Mereka tersebar dimana-mana, ada di kota metropolitan, hingga di pelosok desa. Bukan karena keinginan dan juga takdir sang pencipta, tapi karena ada sistem yang membuat demikian. Sistem diproduksi agar mereka tetap menjadi “Pinggiran” yang terpinggirkan.
Ya begitulah..
Memotret aktivitas Armin Salassa di Salassae bersama Petani. Beliau sering menyampaikan Perbanyak duduk-duduk sebelum bekerja.
Pernyataan ini sulit untuk ditafsirkan seperti apa proses yang dimaksudkan.
Dengan percaya diri, saya mencoba menafsirkan pesan (makna) “Duduk-Duduk” itu meski penuh dengan keterbatasan.
“Dengan Duduk-duduk, kita bisa berdialog tentang apa saja, apakah itu soal masalah ataukah impian tentang sesuatu”. Salassae, ada masalah yang di hadapi Petani, soal lahan kritis, tanaman rusak, hasil produksi pertanian menurun, kepastian harga tak jelas adalah rangkaian masalah yang sering ditemukan saat duduk-duduk.
Begitupun dengan impian atau harapan tentang masa depan, keinginan untuk hidup lebih layak sering menjadi tema saat duduk-duduk.
Dengan memperbanyak duduk-duduk kita bisa mengidentifikasi dan membuat jalan baru agar masalah dan impian itu bisa ditemukan. Sepertinya itulah yang di maksud dengan memperbanyak duduk-duduk agar ada ruang dialog.
Selain dengan Perbanyak Duduk-duduk, tentunya sambil ngopi. Bersama petani mengembangkan organisasi (Komunitas). Kenapa harus berorganisasi? Karena sebagai mahluk sosial manusia tidak akan bisa hidup tanpa berinteraksi dengan orang atau lingkungan sekitarnya.
Dengan berorganisasi setiap orang (petani) bisa bersama-sama dalam merencakan setiap kegiatan yang akan dilakukan.
“Gagal Merencanakan Sama Halnya Merencanakan Kegagalan” begitu dibilangkan oleh orang bijak.
Filosofi “duduk-duduk” tentu punya interpretasi beragam, yang saya tangkap baru itu, dan jika ingin mengetahui lebih dalam bisa ditanyakan langsung kepada Pak Armin Salassa.
Selanjutnya Komitmen dan Konsisten, kata ini cukup populer di ruang-ruang dialog, namun tentu tak semudah mengucapkannya saat sedang menyampaikan kata itu. Akan ada beragam dinamika yang mesti dilewati. Masalah, Godaan, hasrat dan sejenisnya kadang merubah pilihan Komitmen dan Konsisten itu, wajar saja karena tidak semua orang bisa diberkahi demikian.
Perbanyak “duduk-duduk”, agar budaya dialog lebih berkualitas, bangun budaya organisasi agar yang dibilangkan pendidikan kritis bisa diakses melalui Organisasi.