Asal Usul Lambang Garuda dan Ketakutan Orde Baru

Gambar : tribunnews.com

Dari mana asal-usul lambang Garuda Pancasila? Memang agak simpang siur untuk soal yang satu ini. Beda dengan Bendera Pusaka yang memang jelas dijahit oleh Ibu Fatmawati, lagu kebangsaan Indonesia Raya yang jelas diciptakan oleh W. R. Supratman, atau Teks Proklamasi yang diketik oleh Sayuti Melik berdasarkan tulisan tangan Bung Karno. Lambang Garuda, dari mana datangnya?

Garuda dalam Agama Hindu

Dalam ajaran Hindu, Garuda adalah sosok manusia setengah burung bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, dengan sayap, paruh dan kaki yang mirip elang.

Mungkin saja Garuda adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu dalam Agama Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (saudara Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air kehidupan) milik para dewa. Garuda ini juga yang menjadi tunggangan Dewa Wisnu.

Garuda diyakini melambangkan pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan dan disiplin, yang membuat  Garuda begitu dihormati dalam ajaran Hindu.

Ketika Kerajaan Hindu menguasai Jawa, cerita Garuda ini juga dibawa serta, sebagaimana terlihat dalam pahatan di Candi Prambanan, atau Arca Airlangga yang menunggangi Garuda.

Garuda menjadi lambang negara

Pada tahun 1945, dibentuk Panitia Indonesia Raya yang diketuai Ki Hadjar Dewantara, dengan tugas mempersiapkan bahan kajian bagi lambang negara Indonesia dengan menelusuri arti lambang-lambang dalam peradaban bangsa. Ketika itu, Ki Hadjar dan kawan-kawan mengambil Garuda, tunggangan Dewa Wisnu, sebagai usulan lambang negara.

Dalam sayembara tahun 1947, rancangan lambang negara dengan bentuk Garuda dari perupa Basuki Resobowo menjadi pemenangnya. Sayangnya, situasi politik dalam negeri yang tidak kondusif menyebabkan panitia tersebut tidak bisa merampungkan tugasnya.

Tahun 1950, Presiden Soekarno mengangkat Sultan Hamid II dari Pontianak menjadi Menteri Zonder Porto Folio, dengan tugas utama merancang lambang negara.

Sultan Hamid II membentuk Panitia Lencana Negara yang diketuai M. Yamin dan beranggotakan Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Moh. Natsir, dan R.M Ng. Poerbatjaraka.

Hasilnya terdapat dua rancangan gambar yang diajukan untuk dibahas oleh Pemerintah dan Parlemen. Yakni karya M. Yamin yang diberi nama Aditya – Chandra dan karya Sultan Hamid II yang diberi nama Garuda.

Dalam merancang lambang Garuda ini, Sultan Hamid II menelusuri berbagai lambang kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia; salah satunya adalah lambang Kerajaan Sintang yang juga berwujud Garuda.

Tentang ini, dalam transkripnya kepada Solichin Salam (15 April 1967), Sultan Hamid II menulis: “…Saja membuat sketsa berdasarkan masukan Ki Hadjar Dewantara dengan figur Garuda dalam mitologi jang dikumpulkan oleh beliau dari beberapa tjandi di Pulau Djawa dikirim beliau dari Djogjakarta, dan tidak lupa saja djuga membandingkan salah satu simbol Garuda jang dipakai sebagai Lambang keradjaan Sintang Kalimantan Barat, tetapi hanja merupakan salah satu bahan perbandingan antara bentuk burung Garuda jang berada di candi-candi di Djawa dengan luar Djawa, karena setjara historis keradjaan Sintang masih ada hubunganja dengan keradjaan Madjapahit, seperti dalam legenda Daradjuanti dengan Patih Lohgender, demikian keterangan Panglima Burung menjelaskan kepada saja di Hotel Des Indes” awal Februari 1950.

“Disamping itu saja djuga mempergunakan bahan-bahan lambang negara lain jang djuga figurnja burung elang/jang mendekati Burung Garuda dan saja tertarik dengan gambar-gambar lambang negara dan militer Negara Polandia, karena latar belakang pendidikan saja ketika di K.M.A Breda djuga mempeladjari makna-lambang-lambang militer berbagai negara dan lambang-lambang negara di Eropah dan negara-negara Arab serta Amerika djuga di kawasan Asia jang memakai figur burung.”

Tanggal 8 Februari 1950, Sultan Hamid II menyerahkan gambar rancangannya kepada Presiden Soekarno, yang disebutnya Rajawali-Garuda Pancasila.

Sementara rancangan lambang dari Moh. Yamin ditolak karena mengandung unsur ‘sinar matahari’ yang berasal dari lambang Jepang.

Tanggal 11 Februari 1950, rancangan Sultan Hamid II tersebut diperkenalkan oleh Soekarno dalam sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS). Partai Masyumi lewat M. Natsir mengkritik lambang tersebut, karena adanya bahu dan tangan manusia yang memegang perisai sehingga dianggap terlalu mitologis.

Dalam arsip berita bertanggal 16 Maret 1950, Kantor Berita ANTARA menyebutkan nama Dirk Ruhl, seorang perupa asal Perancis yang lama berdiam di Bandung, mendapat tugas dari Presiden Soekarno untuk menyempurnakan lambang RIS.

Dirk Ruhl memang semula menawarkan beberapa alternatif  lambang. Namun, kemudian ia menyempurnakan rancangan lambang yang diberikan oleh Sultan Hamid II, terutama pada bagian kepala dengan penambahan jambul agar tidak sama dengan lambang Amerika Serikat (jambul ini terinspirasi dari Elang Jawa), dan kaki yang mencengkeram pita dari belakang menjadi mencengkeram dari depan.

Sementara semboyan ‘Bhinneka tunggal Ika’ sendiri dikutip dari buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Begitu juga penyesuaian bentuk kepala banteng dan perubahan warna padi dan kapas.

Hasil penyempurnaan Dirk Ruhl ini yang kemudian dilukis kembali dan mendapat sentuhan akhir dari pelukis istana kepresidenan, Dullah, berdasarkan perintah Presiden Soekarno tanggal 20 Maret 1950.

Sultan Hamid II kemudian menambah sentuhan akhir dengan menambah skala ukuran dan tata warna lambang negara, sehingga menjadi seperti sekarang ini. Lambang Garuda Pancasila pun akhirnya disahkan dan diatur penggunaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 43/ 1958

Nama-nama yang hilang

Buku-buku sejarah di era Orde Baru menulis kalau Moh. Yamin adalah pencipta lambang Garuda. Nama-nama seperti Sultan Hamid II, Basuki Resobowo, Dirk Ruhl, atau Dullah hilang begitu saja. Orde Baru menghilangkan nama-nama tersebut dari buku sejarah, karena mereka dianggap tokoh yang berbahaya untuk dikenang.

Basuki Resobowo adalah seniman anggota Lekra, yang menjadi simpatisan PKI. Sultan Hamid II dituduh teribat dalam pemberontakan APRA bersama Westerling. Dirk Ruhl dianggap bukan orang Indonesia asli, sehingga perannya dalam penciptaan lambang negara akan mengganggu nasionalisme, dan Dullah adalah pelukis istana di era Soekarno, yang sengaja diabaikan karena dianggap bagian dari rezim Soekarno.

Tapi, kebenaran tidak bisa ditutupi selamanya. Termasuk kebenaran bahwa banyak orang dari berbagai golongan menyumbangkan kemampuannya bagi negara ini dan simbol-simbolnya. Seperti Wage Rudolf Supratman yang Kristen menciptakan lagu Indonesia Raya, Ibu Fatmawati yang Muslim menjahit bendera pusaka, Sultan Hamid II yang Muslim merancang lambang Garuda berdasarkan gambaran dalam agama Hindu, dan sebagainya.

Bangsa ini patut berterima kasih bahwa keberagaman adalah identitasnya, dan mengerti bahwa penolakan terhadap keberagaman adalah pengkhianatan terbesar terhadap identitas bangsa.