Aswan Achsa: Sang Empunya Para Motivator Itu Telah Pergi

Foto : Aswan Achsa

“Semoga langkah-langkahku ada jejak-jejak kebaikan yang membuat penyesalanku berarti.”

“Yakinlah bahwa apa yang kita lakukan senantiasa berangkat dari satu keinginan tuk berubah diri lebih baik.”

Kata-katanya selalu lugas, bijak dan herannya selalu ada “pilihan kata-kata yang tepat” yang muncul dari pikiran beliau. Beliau memiliki kompetensi yang semua pemikir, motivator dan pembicara sangat irikan, yakni kemampuan memilih dan menciptakan kata-kata. Kalau tidak percaya, perhatikan akun dan postingannya di medsos. Nggak ada postingannya, yang nggak enak disimak.

Beliau Aswan Acsha. Perpaduan yang membuat banyak orang yang suka narsis dan angkuh, jadi rendah hati. Beliau juga meninggikan, orang-orang yang datang dan balajar dari beliau. Selaku mengapresiasi dan menginspirasi.

Juga humornya. Pribadi menyenangkan dan selalu tahu bagaimana harus bersikap. Makanya, saya menyejajarkan ke-Mpu-an beliau seperti Stephen Covey yang kata-katanya meluncur, selalu penuh dengan makna. Cuma lebihnya dari Stephen Covey, dia lebih humoris dan jenaka. Covey berisi, tapi nggak lucu.

Rumahnya di Wonomulyo menjadi tempat persinggahan para Mahasiswa, aktivis, petani, politisi.. Saat mereka stress, carinya bukan psikolog, tapi Aswan Acsha. Nggak terhitung berapa banyak yang datang, hanya ngobrol dan mendapatkan pencerahan.

Sudah gitu, nggak ada ongkos konsultasi malah Aswanlah yang harus keluar snack dan minuman buat para tamunya. Tapi, dia melakukan semuanya dengan hati yang besar.

Kepada saya, dan juga kepada begitu banyak orang yang main ke rumahnya, dia bilang, -“Ini bukan rumahku, ini rumah kita. Kalo ke Wono, ingat ini rumahmu juga”_. Kalau bukan diucapkan olehnya , kalimat ini mungkin akan jadi pemanis. Tapi, karna dari mulutnya, selalu diungkapkan dengan tulus.

Aswan Achsa adalah manusia yang “selesai”. Dia begitu paripurna bagi anak-anak muda NU. Yang menasihati, dan membimbing, tanpa banyak hingar bingar. Entah kenapa Tuhan memberinya begitu banyak talenta. Mulai dari pengorganisiran, menulis, berkata-kata, dan saya yakin ada banyak talenta lagi yang saya mungkin tidak tahu.

Beliau manusia yang bebas dan lepas. Hidupnya nggak ngotot. Aswan nggak pake ilmu digital marketing buat branding. Tapi, ia sendiri menjadi branding yang atraktif. Bahkan ketika ia mempromosikan Abon Marasa (kuliner racikannya), entah mengapa kesannya aja tidak seperti promo yang hingar bingar. Ketulusannya, membuat orang percaya dan merasakan getaran kedalaman dari apa yang disampaikan.

Aswan bisa mengejek dirinya sendiri. Dia tak pernah kuatir. Juga tidak banyak menuntut. Hidupnya penuh pemberian. Pernah suatu ketika di tahun 2010 ketika NU Pasangkayu akan menggelar Konfrensi Cabang I, saya nggak sengaja cerita tentang rencana kegiatan itu. “. Saya bilang, “Mohon supportnya”. Dia peluk saya dan bilang, “Jangankan support, saya sendiri yang akan hadir dan bila ketua tak sempat hadir saya yang akan membuka. Kebetulan saat itu dia menjabat Sekretaris Tanfiziyah PWNU Sulbar. Karna ini pelayanan buat NU, nggak perlu pikirin ongkos transport dan akomodasinya”_. Weiss.. Saat itu, plong rasanya. Bayangkan, saya yang termasuk entah ring ke berapa dalam lingkaran kedekatan beliau saja, bisa merasakan hal demikian. Saya yakin, sahabat-sahabat yang lebih dekat, akan punya cerita yang lebih dahsyat lagi!

Aswan Achsa adalah contoh yang hidup. Kesaksian yang berjalan. Pembelajar yang berwujud nyata. Seluruh hidupnya menjadi bagian dari proses belajar itu. Beliau muncul di berbagai forum LSM. profilnya dikagumi. Dekat dengan banyak orang. Kediamannya jarang sepi. Selalu ada diskusi anak-anak muda”. Tapi, tidak ada keangkuhan dan kecongkakan dalam tutur katanya. Ia manusia paripurna. Selesai.

Empat pelajaran berharga yang ingin saya simpulkan tentang Aswan Achsa. Kerendahan hati. Ketulusan memberi. Melayani tanpa pamrih. Menjadi contoh yang hidup dari apa yang kita ujarkan.

Ketika mendapat kabar duka tentangnya, komentarku cuma satu, “Allah rupanya lebih suka dia jadi motivator dan penasihat di surga”_. Mata saya berkaca-kaca menuliskan ini bukan karena merasa sedih buat beliau, tapi saya merasa sedih buat diri kita yang kehilangannya.

Beliau motivatornya para motivator. Empunya para inspirator. Dia yang pas betul untuk dikatakan, “the core of the core. Intinya inti”. Dan kini beliau pergi? Saya nyaris nggak percaya karna sempat berbalas chat dua hari yang lalu dan lihat fotonya yang tampak bugar.

Seandainya saya bisa menawar waktunya buat hidup lebih lama di dunia ini. Seandainya saya bisa mengetuk hati Tuhan. Justru manusia seperti beliaulah yang begitu dibutuhkan saat ini.

Ingin memeluk dan menjabat erat dirimu lagi kak.

Selamat jalan ya Kak. Kuatkan kami, dari sana ya!

Alfaatiha