BANJIR GETIH DI KARTASURA

Foto : Perang Kapten Tack Vs Surapati (Google.com)

Hari itu, matahari pagi 8 Februari 1686 terasa sunyi, tawar, dan amis. Tampak langit Kartasura bersaput awan kelam. Kapten Tack bertolak pukul 10 siang

dari Majasanga menuju Kartasura untuk menagih Amangkurat II agar menyerahkan Surapati dan anak buahnya. Tapi sebelum datang, sebenarnya Tack tak tahu bahwa Surapati sudah kabur (atau disuruh kabur oleh Sunan?)

Di sekitar kraton, Letnan Greving, Letnan Vonck, dan Letnan Eygel bersiaga penuh. Sebelum memasuki benteng kraton, Greving menjemput Tack di jembatan dekat Banyudana lalu mengabarkan bahwa Surapati meloloskan diri.

“Seperti ada yang tidak beres,” batin Greving. Pun Sindureja, sebagai utusan Sunan yang menyertai Tack, tiba-tiba saja lenyap.

Lantas Tack memerintahkan Van Vliet dan Van der Meer menghadap Sunan. Selang beberapa lama, kedua utusan itu kembali dan melaporkan bahwa Sunan sedang keluar istana memburu Surapati.

“Tidak pantas seorang Sunan turun tangan sendiri mengejar bandit kroco itu,” cibir Van Vliet,

“Biarkan saja. Biarkan Sunan yang liwung itu berbuat semaunya. Nanti pasti ketahuan ‘batu’nya,” redam Tack meski wajahnya terlihat kecut dan sinis.

Begitulah Sunan. Barangkali ia cuma iseng, ngibul, atau berlagak tolol: pulang ke kraton tanpa hasil. Sangat kentara. Tack kian mencium bau muslihat. Segera ia menempatkan perwira Herfts dengan 50 prajurit dan 6 pucuk meriam untuk berjaga-jaga di gapura kraton sekaligus mengawasi gerak-gerik Sunan. 150 tentara disiagakan Tack di loji di bawah komando Kapten Leeman

“Surapati dan babi-babi Bali itu tidak akan berani nongol. Dasar, watak begundal! Banci! Begitu mendengar aku datang, mereka sudah kabur lintang-pukang,” desis Tack, serentak para prajuritnya terbahak terpingkal-pingkal.

Demi maut yang amis nan hitam, kesombongan niscaya tergelincir. Bagai digebuk mimpi jorok di siang bolong, sekonyong-konyong Tack disentakkan oleh laporan Adipati Urawan dan Adipati Jepara soal bandit-bandit Surapati yang bikin huru-hara membakari rumah-rumah di sebelah timur kraton.

Lantaran diserbu semangat ingin cepat-cepat menumpas para pengacau itu, Tack dengan 26 prajurit meluncur ke tempat kejadian. Alangkah terkecoh ia. Di sana tak ada siapa-siapa. Hanya kobaran geni berjilatan menerbangkan abuan kayu. Tack bergegas kembali ke alun-alun. Ia melihat masjid kraton telah dilalap si jago merah.

Pemandangan pahit baru tersibak: Greving dan Sersan Samuel Maurits serta 10 pengawalnya bersimbah darah di undakan ubin kraton. Dengan geram dan darah mendidih: Eygel, Vonck, dan Van der Meer diperintahkan Tack untuk menyerang kawanan Surapati yang telah terlihat dan mulai keteter terdesak masuk ke kraton.

Pasukan Surapati yang terkepung di kraton terpaksa merapat berlindung di belakang tembok-tembol istana dan rumah-rumah yang sebagian lantak terbakar. Mangkuyuda, Singabarong, Suradenti, dan Suradenta menyusup ke kandang macan. Entah merencanakan apa. Sementara di alun-alun, asap tebal mengabut, menyesatkan semua mata yang kalut dan kalap.

Lamat-lamat ada suara yang merayap di udara, tak tahu dari mana. Ya, suara gending Banyu Getih mengalun menggebah bulu tengkuk, scolah memampatkan aliran darah. Surapati yang didampingi Singabarong dan Mangkuyuda, berwaspada dengan senjata terhunus.

“Amuk, babat, amuk!” pekik tempik orang-orang Surapati bagai macan-macan kelaparan yang serentak menyergap pasukan Tack. Pertarungan sengit pun tak terelakkan. Melihat 12 prajuritnya bergelimpangan, Tack mundur.

“Hoikhkh, mau kabur kemana kau Londo bangsat?! Sudah sejak subuh tadi aku mencium darahmu berayapan di seluruh tlatah Kartasura ini. Hayo, ini Surapati, yang kau sebut-sebut bajingan najis itu. Наyо; kalau berani, jilat darahku!!

Tak usah banyak cincong, kau! Prajurıt, habisi mereka!!!”

10 sisa serdadu Tack serentak menyerang. Tack tak gentar sedikit pun. Gerombolan Surapati pun menyambut mereka dengan lebih beringas bagai banteng ketaton. Dalam hitungan detik, kesepuluh prajurit Tack binasa.

Tack kalap. Matanya merah pekat. Seperti disawuri pletikan api. Ia mencoba kabur. Tapi, sebelum ia menapakkan kakinya pada sanggurdi kudanya, dengan gesit Surapati meloncat seraya mengayunkan pedangnya.

Crrass…. Jlebpbp!

Leher Tack ditetaknya. Ia tersungkur terjerembab. Mendelik ke langit merah Kartasura untuk yang terakhir kalinya. Melengking meregang nyawa. Getih segar muncrat dari mulutnya. Serentak, beberapa gelintir orang-orang Surapati dari Bali, Madura, dan Pasuruan mengeroyok membantaï Tack yang sudah pasti tewas itu hingga tak berkutik lagi dengan 20 luka mengerikan.

Tercatat 68 prajurit Kompeni tumpas, I raib, dan 12 lainnya terluka, tapi sempat diselamatkan pasukan lainnya ke tempat yang lebih aman. Sementara, dipihak Surapati, 40 prajuritnya tewas, 20 sekarat, dan 15 di antaranya mati dan dikubur di Kali Sala.

Akhirnya, Surapati dapat lolos dan menghimpun kekuatan baru di Pasuruan. Hingga 1687, Kompeni terus merancang taktik dan muslihat untuk melenyapkan bandit petualang ini.[]

Oleh : Fahruddin Nasrullah (Penulis)

Disarikan dari buku Terbunuhnya Kapten Tack : Kemeluk di Kartasura Abad XVII (Grafiti Jakarta 1989). Karya DR. H.J. De Graaf (1899-1984).