Belajar Ikhtilaf Pada Mbah Hasyim dan Kyai Faqih

Gus Dur pernah menulis sebuah kisah. Kisah ini dinukil dari sebuah jurnal ilmiah bulanan Nahdlatul Ulama (NU) yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1928.

Di dalam jurnal itu tercatat bahwa KH. Hasyim Asy’ari menulis hukum Islam tidak memperkenankan orang dipanggil salat menggunakan kentongan.

Dasar dari pendapat itu adalah jarangnya ditemukan hadist nabi atau bisa dibilang tak ada teks tertulis (dalil naqli) tentang hal itu.

Namun di jurnal yang sama sebulan kemudian seorang ulama bernama Kyai Faqih Maskumambang menyanggah pendapatnya.

Memang siapa Kyai Faqih sampai berani-beraninya menentang pendapat Hadratussyaikh?

Kyai Faqih bukan ulama biasa. Beliau ulama mashyur dan disegani, wakil KH. Hasyim Asy’ari juga. Beliau pengarang Kitab fenomenal “An-Nushush Al-Islamiyyah Fi Radd Al-Wahhabiyyah”.

Kitab ini diterbitkan oleh Darul Ihya Mesir tahun 1922, empat tahun sebelum NU berdiri tahun 1926.

Setelah lama dicari-cari karena menghilang, kitab ini ditemukan lalu diterjemahkan dan diterbitkan lagi oleh Sahifa Surabaya pada tahun 2015. Sekarang judulnya, “Menolak Wahabi, Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi dari Ibnu Taimiyah hingga Abdul Qadir At-Tilmisani”.

Dalam jurnal itu Kyai Faqih berargumen, penggunaan kentongan dalam memanggil orang salat tidak masalah karena bisa dianalogikan atau diqiyaskan kepada bedug sebagai alat pemanggil salat.

Baginya, kalau bedug diperkenankan. Maka kentongan pun seharusnya tak dipersoalkan. Karena adanya sumber tertulis berupa hadist Nabi tersebut.

Setelah membaca uraian dari Kyai Faqih, buru-buru KH. Hasyim Asy’ari memanggil para ulama dan santri senior di Kabupaten Jombang untuk berkumpul di Pondok Pesantren Tebu Ireng. Lalu kedua tulisan tadi dibacakan kepada mereka.

KH. Hasyim Asy’ari atau Mbah Hasyim menyatakan mereka berhak memilih salah satu diantaranya, bedug atau kentongan. Namun beliau meminta satu hal, Masjid di Pondok Pesantren Tebu Ireng selamanya tidak boleh menggunakan kentongan.

Setelah peristiwa di Tebu ireng tadi, pada Bulan Rabi’ul Awal Kyai Faqih mengundang Mbah Hasyim berceramah dalam peringatan Maulid di Pondok Pesantren Maskumambang Gresik.

Menjelang hari “H” tepatnya tiga hari sebelum kegiatan, Kyai Faqih mengirim utusan menemui seluruh ta’mir masjid dan surau di Kabupaten Gresik untuk menyampaikan pesan.

Pesannya semua kentongan yang ada di sekitar kawasan itu harus diturunkan dari tempat gantungannya.

Sikap tadi diambil sebagai bentuk penghormatan beliau kepada Mbah Hasyim. Karena Mbah Hasyim adalah pimpinannya dalam organisasi.

Bagi Kyai Faqih keyakinan pada kebenaran pendapatnya tidaklah menghilangkan sikap penghargaannya pada orang lain. Termasuk bila ada perbedaan pandangan dengan orang itu.

Demikian pula dengan sikap yang telah ditunjukkan Mbah Hasyim sebelumnya. Beliau begitu menghormati pendirian Kyai Faqih. Namun pada sisi lain beliau tetap istiqamah pada apa yang diyakininya.

Apa yang telah ditampilkan dari sikap kedua anutan ini adalah teladan yang maha dahsyat. Mereka telah menunjukkan sisi kematangan pribadi tokoh PBNU yang tawadhu’. antara Rais Am dan Wakil Rais Am-nya.

Sikap luhur inilah yang rasanya makin sulit kita jumpai dari para pemimpin Islam akhir-akhir ini. Tidak hanya pemimpin antar organisasi tapi juga di internal organisasinya masing-masing.

Dewasa ini yang dipertontonkan adalah sikap saling fitnah dan menyalahkan. Mereka bertengkar satu sama lain karena perbedaan pendapat.

Perbedaan pendapat yang seharusnya menjadi rahmat justru dibesar-besarkan. Bukan mencari solusi, perbedaan itu malah kian lama kian meruncing.

Tak ada yang mau mengalah. Ngotot dengan keyakinannya. Alhasil yang muncul adalah perpecahan.

Gawat juga kalau sudah begini keadaannya. Berorganisasi rasanya tak barokah lagi. Kasihan umat dibawah mereka sudah pusing memikirkan nasibnya. Sekarang ditambah lagi ulah para pemimpin mereka.

Barangkali saya terlalu jauh berkhayal pada romantika keagungan masa lampau. Tapi haruskah kenyataan ini disayangkan atau dibiarkan begitu saja?.