Pernahkan seseorang berbuat salah sampai anda benci dan sulit memaafkannya? Meski pada akhirnya dimaafkan. Namun perasaan marah tidak serta merta hilang dalam hati anda. Benar begitu? Kalau iya. Itu sah-sah saja.
Dalam hukum ketertarikan atau law of attraction berbunyi, anda akan menarik lebih banyak energi yang anda rasakan. Kemarahan menarik kemarahan. Kebencian menarik kebencian. Kebahagian menarik kebahagian.
Di saat anda merasakan kebencian, kemarahan, atau hasrat membalas dendam, maka pada saat itu anda juga sedang menarik lebih banyak energi yang dirasakan itu. Kemarahan, kebencian, sikap susah memaafkan luka masa lalu, membuat kita hidup di masa lalu. Bukan di masa kini.
Solusi terbaik dari sebuah kebencian, rasa marah, hasrat membalas dendam dan sikap negatif lainnya, hanya ada satu yakni memaafkan.
Memaafkan membuat kita kembali ke masa kini. Jika kita tidak melepaskan sikap-sikap negatif itu maka sikap itu akan terus melekat. Dan yakinlah bila sikap itu melekat anda akan susah bahagia.
Disadari memaafkan bukan perkara mudah. Tidak sama dengan membalikkan telapak tangan atau menulis status di facebook. Apalagi kalau kebenciaan itu teramat dalam sampai dendam tujuh turunan misalnya. Tentu akan sangat fatal akibatnya. Ia akan mengerogoti jiwa dan raga sepanjang hidup kita.
Memang memaafkan butuh proses. Sebagai manusia biasa, hal itu pasti terasa berat. Tapi dengan proses pembelajaran semuanya akan mudah dilakukan.
Barangkali kita pernah mendengar ada yang berkata, “jadikan masa lalu sebagai pembelajaran yang berharga untuk melangkah ke depan”. Nah berawal dari situ kita bisa belajar memaafkan. Dan rasa kebahagian akan segera hadir dalam kehidupan kita.
Mengapa kita sulit memaafkan?
Untuk menuju proses memaafkan, kita harus lebih dahulu melupakan kenangan yang menyakitkan hati. Mencoba melupakan kenangan, merupakan langkah awal untuk mengampuni dan mengundang kita untuk saling memaafkan.
Tidak realistik bila kita beranggapan, bahwa memaafkan dapat menghilangkan perasaan marah. Kita tak bisa menghapus masa lalu, meski begitu kita bisa menyembuhkan rasa sakit yang ditinggalkannya.
Ketika menuju proses memaafkan, perasaan dengki pelan-pelan akan hilang. Dengki inilah yang membuat kita tidak rela dan tidak ingin melihat orang lain bahagia.
Mahatma Gandhi pernah berkata, kalau mata di balas mata, maka seluruh dunia akan buta. Dendam tak akan ada habisnya.
Balas dendam tidak pernah memberi kita apa yang kita inginkan. Keadilan yang dituntut tidak akan pernah tercapai karena bobot sakit hati tidak pernah bisa ditimbang.
Terkecuali bila kita secara obyektif mampu berdamai dengan diri sendiri, dan bukannya mementingkan diri sendiri. Seperti kata imam Ali (k.w) jika kamu dirasuki dendam maka cara membalas yang terbaik adalah memaafkan.
Menyadari pentingnya saling memaafkan, apalagi kita masih berada dalam suasana lebaran usai melaksanakan ibadah puasa adalah sikap terpuji.
Tapi ingat, memaafkan dalam hal ini adalah pribadi dengan pribadi. Konteksnya personal. Tak ada hubungannya dengan kebijakan publik oleh pejabat publik. Karena itu konteksnya lain.
Terakhir saya ingin kembali menyetir ungkapan Gandhi bahwa “hanya orang kuatlah yang mampu memaafkan.” Saya yakin kita semua adalah orang kuat dan memiliki kebesaran hati untuk memaafkan, sebesar apa pun kekhilafan itu.
Mari saling memaafkan..