Radikalisme itu ada di mana-mana dalam berbagai bentuk: yang keras – membunuh, meneror, mengebom, mengintimidasi – sampai yang halus – menganggap orang yang tidak seiman pasti tidak selamat, mendoakan kesengsaraan umat lain, dan sebagainya. Semuanya dilegitimasi dengan anggapan bahwa hal tersebut menyenangkan Sang Pencipta.
Heran juga sebenarnya: Pencipta seperti apa yang setelah menciptakan manusia, malah senang kalau ada yang ditindas oleh para penyembahnya?
Ini bukan monopoli satu golongan saja atau satu agama saja – semua agama punya sisi radikal ini.
Coba saja tanyakan ke diri sendiri: apa pandangan agama yang kita anut masing-masing tentang nasib orang yang tidak seiman di akhirat nanti? Apa ada agama yang mengatakan dengan lugas dan jujur bahwa orang lain juga selamat? Ajaran agama kita memang membuka pintu untuk terciptanya ekspresi radikal-fanatis dalam beriman.
Itu soal ajaran, urusannya para ulama dan teolog, saya tidak akan berbicara lebih jauh soal itu. Mari kita ke hal lain: apa sebabnya orang beriman dengan cara saling menindas dan meniadakan orang lain? Saya kira, akarnya adalah ketakutan.
Ajaran agama selalu mengajarkan 2 sisi: keselamatan dan kebinasaan kekal, dengan berbagai gambarannya masing-masing.
Keselamatan utamanya digambarkan dengan surga dan segala kenikmatan tiada tara di sana, sementara kebinasaan kekal disimpulkan dengan neraka dan sejenisnya, di mana kesengsaraan yang paling pedih yang bisa dibayangkan – bahkan yang tidak terbayangkan – hadir di sana.
Orang diharuskan memilih hendak mendapatkan yang mana.
Sementara untuk mencapai keselamatan ada berbagai prasyarat yang diatur dalam ajaran agama masing-masing, jalan untuk kebinasaan kekal terbuka lebar nyaris tanpa hambatan.
Bayangkan ini:
Hidup yang sudah susah dijalani secara fisik, masih ditambah lagi dengan kekuatiran akan neraka alias kebinasaan kekal tadi yang bisa setiap saat menghampiri kita, sementara untuk mencapai keselamatan ada berbagai prasyarat yang harus dilewati.
Hal yang paling mudah timbul dan terakumulasi di alam bawah sadar adalah ketakutan: takut tidak selamat, takut masuk neraka. Bahkan melakukan kebaikan pun tidak selalu berarti luput dari rasa takut akan kebinasaan kekal.
Dalam ketakutan kronis seperti itu, apa yang bisa dilakukan? Pilihan paling sederhananya adalah berusaha ‘membujuk dan merayu’ Tuhan: atau menyenangkan hatinya. Dan, cara termudah adalah mengambilalih wewenang Tuhan untuk memberi ganjaran dalam alur yang paling primitif: menghukum mereka yang dianggap sudah pasti tidak selamat.
Dari penghukuman fisik hingga non-fisik, dan semua dianggap menyenangkan Tuhan. Sesungguhnya, ketakutanlah penyebabnya.
Ketakutan pada kemungkinan tidak selamat, sementara keselamatan tidak pasti – karena hanya Tuhan yang paling tahu bagaimana proses seleksinya dan siapa yang lolos – dilampiaskan dengan menggiring sebanyak mungkin orang yang tidak segolongan untuk masuk neraka: minimal neraka di dunia. Minimal di dunia mereka sengsara, agar gambaran neraka yang menakutkan dan tidak jelas itu bisa sedikit tercicipi – oleh orang lain tentu saja – dan diri sendiri bisa sedikit terhibur dari rasa takut.
Bukankah cara paling mudah melawan rasa takut adalah membuat orang lain lebih takut? “Rasa takutku lebih sedikit, dia lebih besar ketakutannya, jadi saya lebih berani dan lebih tenang.’ Siapa tahu juga, makin banyak yang masuk neraka berarti makin besar kemungkinan diri sendiri masuk surga plus mendapat kaplingan yang lebih lapang di sana. Siapa tahu juga Tuhan senang, dan akhirnya diri sendiri lolos seleksi masuk surga.
Siapa tahu….
Kenapa ini bisa timbul?
Mari mengoreksi dan merefleksi diri dan kaum sendiri terlebih dahulu: bagaimana iman diajarkan dan dikotbahkan? Dengan menyebar ketakutan – meski dalam bentuk yang paling samar – atau dengan menyuarakan keberanian untuk beriman?
Keberanian untuk melakukan hal baik – sebagaimana yang diyakini sebagai perintah Tuhan – tanpa dihantui rasa takut? Keberanian untuk menjaga ciptaan dan mengelolanya dengan bijak sebagaimana diyakini bahwa Tuhan menciptakan semuanya demi kebaikan? Keberanian untuk memperlakukan manusia lain sebagai sesama saudara penuh kasih, sebagaimana Tuhan menciptakan manusia dengan penuh kasih pula?
Salah satu teman pernah bilang begini di acara reunian: beriman karena takut masuk neraka itu sama seperti buruh yang bekerja karena takut dipecat, sementara beriman demi mendapatkan surga itu seperti pegawai kantoran yang bekerja untuk dapat bonus dan THR.
Agak satir, memang, tapi waktu dia bilang begitu, banyak yang hadir tertunduk diam. Kayaknya ada sisi benarnya juga. Semuanya berangkat dari ketakutan, bukan dari kebebasan dan cinta pada Tuhan.
Bagaimana mau mencintai Dia yang tidak kelihatan, kalau yang kelihatan saja tidak sanggup dikasihi meski statusnya sesama ciptaan?
Kita begitu takut. Takut kalau yang memimpin tidak seiman, kita bakal sengasara. Padahal ada konstitusi bernegara. Sementara yang jadi pemimpin, takut tidak bisa menyenangkan hati kaumnya seiman, maka dibuatlah aturan yang merugikan orang dari golongan lain.
Takut pada simbol-simbol golongan lain: seolah-olah simbol bisa meniadakan keselamatan – lebih jago simbol dari Tuhan, kayaknya. Bahkan yang mirip simbol pun diberangus.
Takut pada Tuhan yang murka, maka bencana dimaknai sebagai cobaan bila terkena diri sendiri, tapi jadi hukuman kalau menimpa orang lain. Saking takutnya sampai tidak bisa bebas mencintai Tuhan, tapi tidak rela kalau orang lain juga dicintai Tuhan. Takut yang jadi cemburu buta.
Nah, mungkin perlu kita lebih berani: berani untuk memahami bahwa ganjaran di kehidupan setelah kematian itu urusan tuhan, bukan urusan kita. Sementara, tugas kita di dunia adalah membawa kasih-sukacita kepada sesama, sebagaimana Tuhan mengasihi ciptaanNya.
Menyampaikan bahwa Tuhan itu baik kepada semua orang – sebagaimana hari ini Dia menurunkan hujan dan kita semua basah tidak pandang apa pun iman masing-masing, kecuali bawa payung, hehehehe…..
Berani untuk melihat bahwa neraka itu tidak ada artinya dibanding kerahiman Tuhan, dan kerahiman Tuhan terwujud dalam hidup yang penuh persaudaraan. Soal keselamatan, biar itu menjadi urusan masing-masing dengan Tuhan.
Btw, di atas itu sudah soal ajaran, ya? Berarti urusannya para ulama dan teolog…
Sori, sudah terlalu jauh kalau begitu. Yang penting, jangan beriman karena takut. Berimanlah karena berani menjadi sarana berkat dan cinta Tuhan bagi orang lain.