Berawal Dari Spongebob

Suatu ketika saya menemani kedua putriku menonton film kartun kegemarannya, SpongeBob Squarepants. Saya lupa jadwal dan ditayangkan dimana.

Namun yang saya ingat bila jadwal tayang film kartun produksi Nickelodeon itu tiba, rumah akan tenang, damai dan sentosa. Mereka akan duduk manis di depan televisi tanpa suara jeritan atau teriakan yang memekakan telinga.

Awalnya saya ingin menggoda. Namun berubah ketika menyaksikan keseriusan mereka. Begitu khusuknya menonton, sampai-sampai mata mereka seakan tak berkedip.

Saat film itu tayang, si SpongeBob terlihat sibuk dengan tali sepatunya. Tingkahnya yang lucu membuat kami semua tertawa geli.

Saya baru sadar rupanya keduanya sering tertawa saat menonton. Karena ulah SpongeBob dan kawan-kawannya para penghuni dunia Bikini Bottom memang lucu dan menggemaskan.

Sempat terlintas dalam pikiran saya, kalau adegan yang ditampilkan dalam cerita-cerita SpongeBob Squarepants sebenarnya hanyalah hal-hal sepele. Misalnya seperti mengikat sepatu tadi.

Namun hal-hal yang sepele itu justru tampil dalam bentuk yang menarik dan jenaka. Sehingga menimbulkan kelucuan-kelucuan yang membuat anak-anak, bahkan orang tua seperi saya tak kuasa menahan tawa.

Yang saya pahami dari plot dan konflik utama dari film SpongeBob memang berangkat dari hal-hal yang sederhana.

Hebatnya, perkara yang sepele-sepele tadi seperti belajar mengemudi pada Nyonya Pop, membuat Krabby Patty, Garry yang menggemaskan, bahkan celana dalam mampu membentuk menjadi jalinan cerita yang sangat menarik dan sarat arti.

Untuk kasus ini saya harus mengangkat peci pada sang kreator Stephen Hillenburg. Dia memiliki kemampuan dalam mengemas ide cerita yang sederhana menjadi luar biasa.
Padahal setahu saya tidak gampang menghasilkan suatu cerita yang sebenarnya terlihat sederhana dan biasa saja. Karena bisa jadi yang terlihat biasa dan sederhana justru berasal dari sesuatu yang rumit dan melelahkan.

Saya tak bisa membayangkan betapa berat jalan yang dilalui Thomas Alfa Edison ketika menemukan bola lampu pijar yang kelihatan biasa-biasa saja. Padahal kabarnya, dia sampai melakukan 1000 kali usaha percobaan. 999 kali gagal dan yang ke seribu itulah yang berhasil.

Atau mari perhatikan produk-produk Apple. Dari tampilan dan menu sederhana untuk memudahkan kita mengoperasikannya. Sebenarnya berasal dari sesuatu yang amat rumit dan canggihnya teknologi yang ada di dalamnya.

Saya memiliki teman, dia ahli bela diri Shorinji Kempo. Saya pernah menyaksikannya latihan komite. Dia membanting lawan dengan sekali gerakan dengan amat mudah.

Bila melirik pola gerakannya, terlihat biasa saja. Padahal untuk sampai tahap mahir seperti itu, dia mengatakan butuh latihan dan tempaan fisik keras dalam waktu yang lama.

Kita sadar, dalam berpikir dan berimajinasi buah karya dan ciptaan manusia yang di dapatkan dari pengetahuan tidaklah sama.

Namun, tampaknya puncak dari keindahan karya itu selalu bermuara pada satu hal yang sama, yakni kesederhanaan.

Makanya, saya jatuh cinta pada kesederhanaan.