Hampir setiap pagi masjid di sebelah utara rumahku mengumumkan berita duka. Berita itu disampaikan lewat pengeras suara yang terdengar hampir ke seluruh wilayah kampung.
Berita itu tidak hanya datang dari warga yang berdomisili di sekitar lingkungan masjid di kampungku. Tapi juga datang dari tetangga kampungku.
Bahkan tak jarang kabar tentang kematian seseorang datang dari warga kelurahan lain. Seolah-olah Tuhan setiap saat mengirimkan pesan kepada kami sebelum beraktivitas agar tidak memaksakan diri serakah dalam bekerja dan mencari uang.
Karena sewaktu-waktu namamu yang akan diberitakan dalam kabar duka itu .
Hal yang sama juga, hampir setiap hari saya temukan saat membaca ucapan duka cita di Medsos.
Semuanya seakan menggedor ruang bawah sadarku bahwa suatu saat namakulah yang akan dituliskan dalam status teman-teman medsosku.
Dalam ucapan belasungkawa mereka.
Lantas hanya tersisa kenangan akun-akun medsos yang tak pernah aktif lagi, tinggal nama dan foto-foto yang jika tidak dihapus oleh ahli waris atau admin akan terus terpampang bertahun-tahun.
Ia menjadi semacam “online obituary”, sebelum akhirnya namaku dilupakan orang sebagaimana jutaan nama lain yang tak seorang pun pernah ingat lagi.
Berita duka hampir selalu terdengar setiap saat, namun semua bagaikan angin lalu yang bagi sebagian orang yang tidak peduli atau terlalu mencintai dunia.
Bagi sebagian lainnya, berita duka mungkin ada hikmahnya. Karena membuat mereka selalu ingat bahwa kita bisa mati kapan saja dan hidup tak hanya soal angka, ambisi, kemewahan, kebanggaan, kenyamanan, popularitas, kedudukan, dan kekuasaan.
Atau kalau ia aktif di medsos mungkin retweet, jempol like, sampai komentar caci-maki 140 karakter di Twitter atau di kolom komentar status Facebook.
Lalu engkau mungkin bertanya-tanya:
Seberapa sering kita ingat maut?
Dan dengan cara apa kita akan mati?
Dan bagaimana kelak kita dikenang baik di dunia nyata atau dunia virtual?