Bertemu Gus Dur di Sidera

Ketika menjadi presiden, Gus Dur sering melakukan lawatan ke berbagai negara. Tujuannya untuk meyakinkan dunia internasional agar tidak ikut campur mengobok-obok NKRI.

Ketika itu negeri kita diambang disintegrasi. Separatis muncul di Papua, GAM di Aceh dan RMS di Maluku yang remote-nya di mainkan di luar negeri.

Banyak yang murka. Mereka menuduh Gus Dur cuma “jalan-jalan” menghabiskan uang rakyat. Dan puncaknya waktu Gus Dur berkunjung ke ibukota Perancis, Paris. Para pembencinya semakin menjadi-jadi.

Ketika dikonfirmasi hal tersebut oleh wartawan Gus Dur cuma berkata, “Tahu apa mereka dengan yang saya kerjakan. Lha, ngapain juga saya jalan-jalan ke Paris kalau nggak ada gunanya? Wong Paris dan Jakarta bagi saya sama saja kok. Sama-sama gelap.” Ujarnya cuek.

Buat Gus Dur keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk melakukan banyak hal bagi persatuan bangsa.

******

Kisah ini tetiba mengingatkan saya pada kejadian dua tahun yang lalu, saat saya mengunjungi Sidera. Salah satu desa yang mengalami bencana Liquifaksi untuk membagikan bantuan logistik pada masyarakat..

Di Sidera, saya sungguh terkejut, karena di desa kecil itu secara tak terduga saya bertemu Gus Dur.

Tapi  jangan salah paham dulu sebab yang saya maksud dengan pertemuan itu bukanlah pertemuan fisik.

Di Sidera saya menemukan “Ruh” Gus Dur. Mantan presiden itu menjelma menjadi semangat persatuan. Semangat toleransi.

Di Sidera toleransi di junjung tinggi. Masjid dan Gereja dibangun berdampingan. Warganya juga beragam sebagia besar pendatang. Ada dua etnis utama, selain warga asli. Yakni Orang Tanah Toraja (Tator) dan  Orang Jawa. Agama Islam banyak dianut oleh Orang Jawa. Sementara Orang Tanah Toraja (Tator) beragama Kristen. Walaupun berbeda agama mereka tetap hidup rukun.

Menurut warga setempat meski Orang Tator mayoritas mereka tetap menghormati etnis Jawa yang minoritas.

Paska gempa bumi yang mengguncang Kota Palu, Sigi dan Donggala, Sidera adalah salah satu daerah yang paling merasakan dampaknya. kerusakan parah dimana-mana. Banyak warga yang kehilangan tempat tinggal. Termasuk Orang Tator dan OrangJawa yang berdiam di sana.

Saya dengar ada orang Jawa yang menetap di rumah Orang Tator. Begitu juga sebaliknya. Mereka diterima dengan baik layaknya keluarga sendiri.

Inilah yang mendorong komunitas para pecinta toleransi yang diperjuangkan Gus Dur (GUSDURian) untuk membangunkan Warga Sidera Hunian Sementara (Huntara).

Mereka menamai huntara itu “KAMPUNG GUSDURIAN”. Harapannya, Huntara ini bisa didiami oleh siapa saja tanpa tersekat-sekat primordialisme.

Huntara ini menempati lokasi yang tidak terlalu luas. Letaknya sangat strategis karena berada di pinggir jalan yang menghubungkan Desa Sidera dan Desa Jono Oge.

Bangunannya sederhana berbentuk persegi panjang terbuat dari triplek dan di petak-petak memanjang dari timur ke barat. Bangunan ini mengingatkan saya pada los-los pedagang pasar tradisionil di pedesaan.

Selain hunian warga ada juga di bangun mushalla. Tempatnya pas di tengah-tengah huntara.

Hunian terlihat mencolok karena di cat warna-warni di hiasi gambar serta pesan-pesan bijak Gus Dur sehingga terlihat unik dan mengundang perhatian warga yang lewat. Tidak sedikit diantara mereka yang mampir dan berswafoto di depannya.

Raga Gus Dur memang telah tiada. Ia di semayamkan nun jauh di Jombang. Namun semangatnya tetap hidup. Ia tetap “Pelesiran” kemana-mana. Dan kali ini saya melihat Gus Dur berada di Sidera.