Bagi petani bibit sama pentingnya dengan tanah atau lahan. Sebab Ia merupakan rangkaian dari proses produksi bagi petani. Lahan pertanian tanpa bibit unggul ibarat sayur tanpa garam. Jadi Bibit dan lahan sama pentingnya.
Namun tulisan ini bukan untuk menceritakan soal lahan, atau sayur tanpa garam tadi, tapi Bibit Unggul.
Ya ‘Bibit’ untuk tanaman petani.
Saat ini, bibit menjadi perbincangan hangat di Kabupaten Bulukumba.
Dibeberapa ruang seperti warung kopi, rumah warga sampai diruang-ruang kedinasan pemerintah ia hadir sebagai bahan diskursus oleh yang sedang mendiskusikannya.
Betapa tidak, ‘Bibit Unggul’ adalah salah satu program unggulan oleh Bupati dan Wakil Bupati Bulukumba periode ini. Wajar saja jika hangat diperbincangkan.
Program ini patut diapresiasi, sebab faktanya Kabupaten Bulukumba merupakan salah satu daerah dengan potensi sumber daya alam lahan pertanian dan perkebunan yang cukup besar untuk dikembangkan. Tentu dengan menghadirkan Bibit Unggul akan memaksimalkan potensi tersebut.
Namun belakangan ini, berbagai respon dan sudut pandang tentang ‘Bibit’ muncul dengan beragam interpretasi. Nampaknya respon itu untuk mengulas apakah bibit yang dimaksudkan merupakan kebutuhan atau keinginan.
Kebutuhan Siapa? Dan Keinginan Siapa?
Ini tak perlu dijawab, nantinya akan terjawab dengan sendirinya.
Kini, di desa juga demikian, Bibit Unggul menggelinding bak bola yang sedang di over oleh pemain bola di lapangan hijau. Menggelinding dari kaki ke kaki pemain.
Begitu pula dengan bibit yang sedang menjadi tranding topik pembicaraan. Mungkin karena sudut pandang tadi yang berbeda-beda sehingga ramai diperbincangkan atau bisa jadi karena ada hal lain yang bukan pada soal bibit itu. Bisa jadi !
Misalnya Program Pengadaan Bibit Unggul tiba-tiba menjadi program wajib bagi tiap desa untuk dilaksanakan, lalu anggarannya juga lumayan besar, mencapai ratusan juta rupiah.
Beban biayanya dibebankan melalui anggaran Dana Desa.
Kalaupun prioritas, kenapa tidak pemerintah daerah mengalokasikan anggaran khusus untuk percepatan program itu, dan tak mesti membebankan ke Desa.
Respon lain yang berkaitan dengan pengadaan bibit unggul, yakni road map kenapa bibit tersebut harus menjadi prioritas? Misalnya memahami tipologi desa-desa, dan kajian potensi lahan perlu dilakukan.
Selain itu penjelasan jenis tanaman bibitnya juga belum diketahui, jenis bibit apa saja yang ingin dikembangkan? Pertanyaan-pertanyaan ini yang harusnya diberi penjelasan agar jelas dan bisa diterima.
Pada dasarnya, jika bibit memang menjadi kebutuhan, tak mesti ada intervensi dan juga ‘titipan’ program. Sebab melalui forum musyawarah yang diprakarsai oleh pemerintah desa dan masyarakat desa akan menemukan kebutuhan apa yang penting untuk dilaksanakan dalam setiap perencanaan pembangunan. Termasuk bibit, ia akan hadir dengan sendirinya tanpa mesti di ‘titip’.
Konstitusi juga mengatur demikian, berupa kewenangan yang telah diberikan oleh negara kepada desa. Tentu kita khawatir, jangan sampai dengan intervensi itu malah mengkerdilkan kewenangan yang telah dimandatkan negara kepada Desa.