Melaksanakan Sholat Tarawih di malam pertama Ramadhan sungguh menyenangkan. Suasana ramai dan meriah. Orang yang tidak pernah atau jarang datang ke masjid di bulan-bulan sebelumnya tiba-tiba muncul dengan busana muslim lengkap, dengan peci haji sebagai lambang kesalehan.
Bulan ramadan seperti tahun-tahun yang lalu berhasil mengajak sebagian besar kaum muslimin di seluruh dunia untuk memperbanyak ibadah mengisi kekurangan selama bulan bulan yang lain.
Tentunya denga harapan menjadi orang yang bertaqwa sebagaimana dalam Al Baqarah 183, yang sering dibaca oleh imam atau penceramah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
Saya ingat awal tarawih penceramah menceritakan tentang pahala ibadah di Bulan Ramadhan, imbalannya berlipat ganda. Dia menceritakan pahala malam pertama sampai malam ke 30, sekalian dihitung jumlah salat wajib dikalikan 70 dan salat sunat dihitung sebagai salat wajib.
Angka yang keluar luar biasa! Saya jadi heran ini ustad penceramah atau guru matematika, ya? Apa memang tujuan puasa untuk mengharapkan imbalan semata-mata? mengharapkan pahala? Bukankah setiap ibadah dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apa-apa selain karena Allah semata?
Siang kemarin pulang dari kantor saya singgah di sebuah masjid untuk sholat dhuhur berjamaah. Setelah selesai sholat diadakan ceramah oleh sekelompok orang berjubah putih dan berjanggut.
Pimpinan mereka memberikan pengumuman kepada seluruh jamaah masjid: “Mari merapat. Mari membuat lingkaran, kita mengikuti sunnah nabi. Zaman Rasulullah SAW ketika beliau berceramah seluruh sahabat mengelilingi beliau.”
Saya ikut merapat dalam lingkaran tersebut. Ceramah dimulai dengan puji-pujian kepada Allah SWT kemudian sholawat kepada nabi. Lalu diteruskan dengan kata-kata dalam Bahasa Arab sampai 15 menit lamanya. Selama ceramah saya bingung soalnya kurang paham apa materi ceramah.
Tiba-tiba penceramah tadi mengakhiri ceramahnya dengan “Wassalamualaikum warahmatullah barakatuh.”
Kemudian disambung dengan ceramah kedua. Mirip juga dengan penceramah pertama, cuma yang ini, syukurlah pakai Bahasa Indonesia. Sepertinya ini terjemahan ceramah sebelumnya.
Penceramah kedua menceritakan pahala puasa, pahala jihad dan berbagai pahalanya lainnya. Pokoknya semua tentang pahala. Juga diceritakan tentang bidadari di surga.
Topik tentang bidadari ini yang mengganggu pikiran saya karena penceramah menceritakan tentang bidadari lengkap sekali, mulai kemolekan tubuhnya sampai bagaimana para bidadari itu nanti menyambut suaminya, yaitu orang-orang yang mendapat pahala surga.
Cerita tentang keindahan bidadari ini dikemas sedemikian rupa sehingga hampir mendekati cerita-cerita romantis yang biasa merangsang mendengarnya.
Saya jadi tertegun, lha kalau model begini ceramahnya bukan hikmah yang didapat melainkan pikiran “ngeres” yang bisa menjurus kearah membatalkan puasa, karena isinya menimbulkan rangsangan membuat orang membayangkan “hal” yang menyenangkan tentang wanita cantik.
Ketika ceramah berakhir dan jamaah bubar saya melihat sekelompok anak muda berumur sekitar 17-an keluar masjid dengan wajah memerah dan ceria.
Saya dekati dan sapa mereka: “Dek, ceramah tentang bidadari tadi mantap ya?”. “Siip, mantap pak. Mudah-mudahan saya dapat pacar seperti itu, seksi kali.” jawabnya sambil tertawa. Teman-teman dia yang lain juga ikut tertawa.
Waduh..
Saya berdoa dalam hati mudah-mudahan saja pulang dari masjid anak-anak muda itu tidak kawin dengan setan dan berpikir macam-macam dengan
membayangkan tentang tubuh wanita semolek bidadari.
Memang mengharapkan surga dengan segala kenikmatannya merupakan hal yang wajar, akan tetapi kita harus berhati-hati karena bisa mengurangi keikhlasan kita dalam beribadah. Padahal sesungguhnya akan lebih bijak jika seandainya penceramah menceritakan tentang kenikmatan tertinggi di dalam surga adalah memandang wajah Allah bukan menggauli bidadari.
Andaikan ini dijelaskan tentu akan lebih menarik dan tak perlu sampai membuat jamaah mengkhayalkan sesuatu yang tidak-tidak.