Saya baru tahu kalau lagu Naik Kereta Api, Pada Hari Minggu, Dua Mata Saya, Topi Saya Bundar, Balonku Ada Lima, Bangun Tidurku, Lihat Kebunku adalah lagu-lagu ciptaan pak kasur.
Semula saya pikir beliau cuma tokoh pendidik biasa dengan lagu segelintir. Rupanya lagu ciptaannya banyak, 120 lebih. Produktif sekali.
Saya juga baru tahu kalau Pak Kasur bukan nama aslinya.
Nama aslinya Suryono (ejaan lama: Soerdjono). Suryono berasal dari kata Suryo artinya matahari. Dikasih nama begitu karena lahir tepat matahari terbit jam 06.00 pagi.
Kalau nama Kasur lain lagi.
Nama itu didapat ketika aktif di kepanduan. Kepanduan adalah sebutan lama pramuka ketika masih jaman Orde Lama.
Kasur adalah kependekan “ka” dari kakak. Dan “Sur” dari Suryono.
Dalam sebuah organisasi lumrah yunior memanggil Senior-nya dengan kakak atau kak saja. Biar hubungan terasa akrab.
Jadilah suryono dipanggil Ka..Sur.
Akhirnya kedengaran.. Kasur.
Sebelum ini saya yakin nama Kasur adalah panggilan mesra saja. Biar kedengaran lucu di telinga anak-anak. Apalagi Bu Sandiah, istrinya. Juga dipanggil Bu Kasur.
Saya keliru. Ini bukan lucu-lucuan. Nama Kasur memang ada sejarahnya.
Meski ia mengaku pernah memanggil istrinya bu guling dan memanggil anaknya bantal.
Semasa hidup Pak Kasur dikenal sebagai figur yang peduli pendidikan. Utamanya pendidikan anak.
Setiap hari selain, Kamis. Ia tampil sebagai pembawa acara anak di RRI dan TVRI.
Perhatian yang sama juga ia curahkan pada anak-anak lewat lembaga pendidikannya: TK Mini Pak Kasur.
“Pak Kasur itu tidak suka marah. Orangnya tulus dan penyayang. Baginya anak-anak adalah sahabat.” Kata Ibnu Husadi, orang tua dua murid Pak Kasur dalam buku: Pak Kasur, Pengabdi Pendidikan.
Dalam banyak kesempatan diceritakan bagaimana Pak Kasur sukses membangun hubungan emosional dengan anak-anak.
Ketika mengajar ia senang bercerita. Tak lepas dari canda. Sesekali bernyanyi.
Setiap lagu atau tuturnya diiringi dengan gerakan dan mimik yang mendukung sehingga pandangan Anak-anak tak lepas darinya.
Misalnya, Di depan kelas sambil terbungku-bungkuk ia bercerita;
“Pak Kasur sudah tua. Ada mobil datang. Wah, Pak Kasur keserempet. Jatuh! Aduh, aduh! Anak-anak siapa yang mau menolong?” Rintih Pak Kasur sambil berbaring di depan anak-anak.
Seorang anak laki-laki gemuk, berumur 4 tahun dengan sigap melompat ke depan membangunkan Pak Kasur.
Anak-anak bertepuk tangan. Orang tuanya tertawa. Semuanya senang. Senang mengikuti pelajaran Pak Kasur.
Karena kelas dibuka sore orang tua diminta tak pulang sampai kelas bubar. Mereka sering dilibatkan dalam pelajaran. Juga permainan.
Alasannya, dengan keterlibatan langsung orang tua anak-anak bisa merasakan “suasana” sekolah sama di rumah.
Sekalian dapat mengontrol kekurangan anak dan membantunya dalam belajar.
Tak jarang karena keenakan bermain dengan pak Kasur, anak-anak tak mau pulang. Maunya bobo di sekolah. Akhirnya yang repot orang tuanya. Terpaksa nginap di Sekolah.
Untungnya sekolah juga merangkap rumah. Jadilah rumah Pak Kasur sebagai hotel anak-anak dan orang tuanya.
“Kadang-kadang kami tak kebagian tempat tidur, lalu ramai-ramai menggelar tikar di lantai.” Kenang bu Kasur.
Sebelum tidur anak-anak disuruh pipis dan cuci kaki.
“Tapi pak kasur juga.” Sahut mereka. Pak kasur pun menuruti. Ia sadar bagi anak-anak contoh lebih bermakna dari kata-kata.
Guntur, Megawati dan adik-adiknya adalah sebagian murid Pak Kasur. Mereka sering diantara ke sekolah oleh sekretaris Bung Karno. Mualif Nasution.
Begitu juga cucu-cucu Pak Harto. Banyak sekolah disitu
Belajar dengan contoh juga diterapkan Pak Kasur Ketika tampil di Televisi.
Begitu diajarkan lagu “Keranjang Sampah” yang isinya: kalau makan pisang kulitnya harus dibuang ke dalam keranjang sampah. Sambil bernyanyi anak-anak diberi pisang dan benar-benar membuang kulit pisang ke keranjang sampah.
Menurut Pak Kasur pendidikan harus konkrit. Permainan dan nyanyian harus disertai perbuatan karena anak-anak adalah pencontoh-pencontoh yang baik.
Selain TK Mini-nya, Pak Kasur juga membangun sekolah remaja. Sekolah ini setingkat SMP. Juga sekolah pemuda setingkat SMA.
Murid-muridnya banyak. Sebagian berasal dari keluarga tak mampu dan broken home.
Sekali waktu, Pak kasur didatangi murid-muridnya. Mereka marah dan hendak membakar kantor redaksi sebuah majalah ibukota. Mereka tersinggung karena disebut siswa “Crossboy”.
Oleh pak kasur mereka dinasehati dan diajak bermain musik.
“Musik itu obat. Musik bisa jadi terapi kegelisahan jiwa. Banyak hal bisa disalurkan lewat musik. Utamanya persoalan kejiwaan”.
Demikianlah..
Pak Kasur memang sudah lama pergi. Tapi beliau telah mewariskan pelajaran besar. Pelajaran tentang cara memikat hati anak.
Caranya, pikat mereka dengan: cinta, lagu dan keteladanan.