Bayangkan ini:
Bertahun-tahun sejak lahir, kita dicekoki dengan paham bahwa agama kita adalah yang paling benar, bahwa kita lah yang terjamin masuk surga, bahwa Tuhan yang kita sembah adalah tuhan sejati, cara berdoa kita yang paling benar dan paling diterima Tuhan, bahwa hanya ajaran agama kita yang memberikan kebahagiaan hidup. Ini membentuk keyakinan mendalam dan mendasar bertahun-tahun, membentuk kesadaran kita dalam beragama, membentuk pola pikir kita ketika bertuhan.
Lalu, kita tiba pada situasi, di mana kita melihat ada orang lain, penganut agama lain, menyembah Tuhan yang lain, berdoa dengan cara yang lain; mereka khusyuk, bahagia dengan hidupnya, mampu menjadi berkat bagi sesama, dan menjadi panutan bagi banyak orang.
Apa yang kita pikirkan? Agama kita yang salah, atau mereka hanya berpura-pura? Berpura-pura bertuhan, berpura-pura bahagia, berpura-pura berdoa, berpura-pura selamat, berpura-pura menjadi berkat bagi orang lain, dan seterusnya……..
Banyak orang kaget ketika melihat orang lain yang tidak seagama, toh bisa menjadi orang baik. Lantas membangun keyakinan bahwa mereka bagaimanapun pasti sesat, pasti menyembunyikan niatnya yang jahat, pasti hanya berpura-pura bahagia. Atau bagaimanapun mereka baik di dunia, toh nantinya akan masuk neraka dan mendapat hukuman kekal dari Tuhan, karena mereka pada dasarnya jahat.
Ya, mereka bagaimanapun pasti jahat.
Banyak orang terganggu ketika kebaikan ternyata bisa diekspresikan oleh orang beragama lain, lalu mulai melakukan penghinaan hingga tekanan fisik, karena tidak tahan melihat kenyataan bahwa penganut agama lain juga bisa menjadi orang baik. Itu seperti anekdot bahwa orang yang berpindah ke agama lain adalah murtad, sementara yang berpindah ke agama kita disebut bertobat. Atau menyatakan bahwa sikap kita itu adalah tanda beriman teguh, sementara jika tampak pada orang lain itu disebut fanatisme.
Itu yang disebut cognitive dissonance dalam beragama: menciptakan anggapan dan realitas imajiner ketika menjumpai kenyataan yang tidak sesuai dengan keyakinan yang selama ini dipegang teguh. Carilah arti cognitive dissonance dalam pengertian ilmu jiwa (googling saja), dan penjelasan ilmiahnya dalam spektrum ilmu jiwa ada di sana. Atau bertanyalah kepada para pakar.
Kenapa itu bisa muncul dalam kehidupan beragama?
Banyak faktor penyebabnya yang saling mempengaruhi dan menguatkan. Dicekoki dengan pemahaman sempit sepanjang hidup, tidak adanya pengalaman berjumpa dengan umat lain, pola pengajaran agama yang menihilkan toleransi dan dialog, dogmatisme ajaran yang meniadakan kemungkinan penafsiran baru atas ajaran agama, atau bahkan inferiority complex karena ketidakmampuan mengejar ketertinggalan dalam segala aspek kehidupan.
Bisakah ini diatasi tanpa menimbulkan goncangan iman?
Menurut saya bisa, asalkan ada keberanian – terutama dari para pemegang otoritas keagamaan – untuk memberikan tafsir baru atas dogma agama yang sesuai dengan kenyataan sosial.
Bahwa sejatinya hidup ini adalah pencarian, dan dalam pencarian itu orang harus terbuka pada berbagai ‘wajah Tuhan’ yang bisa dijumpai dalam berbagai jalan.
Bahwa setiap agama, meski mengklaim berasal dari Tuhan, toh memiliki dimensi kemanusiaan dengan segala kelemahannya, terutama dalam hal pembumiannya lewat ungkapan bahasa manusia yang seringkali terbatas.
Bahwa ruang dan waktu ketika agama tersebut lahir dan hadir, juga ikut membatasi pembahasaan dan tafsir atas ajaran di jaman tersebut. Bahwa teks harus dibaca kontekstual, bukan literer belaka.
Dan terutama bahwa kebahagiaan bisa hadir pada semua orang, bahwa setiap orang bisa menjadi baik, apa pun agamanya, bahkan tidak beragama sekalipun!
Tuhan yang Mahabaik tidak mungkin menghalangi ciptaan-Nya menjadi baik, Tuhan yang Mahakasih tidak mungkin menghalangi ciptaan-Nya menjadi pembawa kasih. Tuhan tidak mungkin melawan kodrat-Nya sendiri.
Soal keselamatan, itu soal pribadi setiap insan dengan Tuhan. Soal membangun dunia yang lebih baik, itu kewajiban semua orang, terlebih yang mengaku bertuhan.
Salam banyak-banyak!