Posko Relawan Peduli Korban Gempa Sulbar di Jalan Rambutan Pasangkayu tetiba semarak. Banyak relawan berkumpul disana.
Sore itu penghuninya kedatangan tamu. Tamunya relawan juga. Relawan kemanusiaan asal Sulawesi Tengah dari Keluarga Besar NU (KBNU).
Mereka mampir silaturahmi sebelum melanjutkan perjalanan ke Mamuju dan Majene untuk menyalurkan bantuan logistik.
Sebagian besar diantara mereka adalah Alumni Palu-Koro 7.2 SR (Skala Richter). Sebuah istilah yang disematkan untuk para relawan yang membantu para korban ketika terjadi gempa dan tsunami di Palu, Sigi dan Donggala, tahun 2018 silam. Dan kebetulan memiliki relasi emosional dengan relawan Ansor/Banser Pasangkayu.
Salah satunya, Darmawan. Kasatkorcab Banser Kabupaten Sigi. Sosok humoris, trengginas dan tak mau diam. Lelaki yang selalu memberi atmosfir kegembiraan kepada orang-orang di sekitarnya.
Di kalangan tim relawan Banser Pasangkayu namanya begitu disegani. Dia banyak berperan dalam menyukseskan upaya tim, baik ketika di lapangan atau menelorkan ide-ide briliannya waktu rapat evaluasi kala ada kasus yang dihadapi tim.
Kami mengenalnya saat tim pertama kali bergerak memasuki Kota Palu dua hari paska gempa. Kala itu tim berusaha memetakan dan mencari titik yang perlu mendapat sentuhan evakuasi secepatnya.
Dialah yang memberi saran supaya kami menyisir Perumnas Balaroa. Sebuah kompleks perumahan yang luluh lantak rata dengan tanah dan sebagian lagi hilang ditelan bumi karena liquifaksi.
Bahkan sampai tak ketinggalan turut bahu membahu dengan kami mengevakuasi jenazah di reruntuhan Perumnas Balaroa. Padahal di saat yang sama banyak keluarganya tertimpa bencana di Sigi.
“Balaroa butuh bantuan dan perhatian segera.” Katanya saat ditanyakan kondisi keluarganya.
Sewaktu tim relawan Banser Pasangkayu bergerak mendistribusikan logistik ke wilayah pengungsian di Sigi. Dia juga yang menyarankan supaya tim bergerak ke wilayah Dolo Selatan karena disana daerahnya parah tertimpa bencana. Sementara warganya belum tersentuh bantuan secara merata.
Di lokasi bencana selain turun mengangkat logistik, dia juga tampil sebagai relawan trauma healing bagi anak-anak pengungsi.
Karena dia hangat dan “sense of humor”nya mengagumkan. Anak-anak begitu menyukainya.
Saya ingat, saat tim kami hendak balik ke Pasangkayu dia masih sempat mengajak saya ke Wani di Kabupaten Donggala untuk mendistribusikan logistik.
Saya perhatikan ada banyak buku dan boneka yang dipersiapkan untuk dibagikan ke anak-anak disana.
Ketika saya tanya buat apa susah-susah memberi trauma healing pada anak. Apa tidak sebaiknya fokus saja ke logistik. Dan jawabannya sungguh diluar dugaan saya,
“Setiap bertemu anak-anak di pengungsian. Saya merasa ada energi yang melimpah untuk menghibur mereka. Saya bisa ajak mereka bershalawat, menghafal Pancasila dan mencintai kebhinekaan serta persatuan Indonesia.” Katanya.
******
Saat berada di Mamuju dan Majene, saya tidak menyertainya. Dari postingan Facebook miliknya maupun milik teman tim relawan lain. Saya lihat dia memikul logistik dan berjibaku mendorong motor warga yang terjebak lumpur di kawasan longsor Desa Kabiraan Kecamatan Ulumanda Kabupaten Majene.
Saya tak tahu apakah disana dia sempat memberi trauma healing pada anak-anak pengungsi, tapi saya lihat energi kemanusiaannya masih tetap melimpah.
Kesannya tak berbeda saat melihatnya mendampingi anak-anak di Dolo Selatan. Memulihkan semangatnya dengan gambaran masa depan yang lebih baik. Sekaligus membangkitkan rasa nasionalisme mereka.
Rupanya selain punya “sense of humor”, komiyu juga punya “sense of belonging”, komandan. Rasa cintamu terhadap tanah air luar biasa.
Saya salut dan angkat peci untukmu.