Desa Tanggap Perubahan Iklim

Tiga kali kelas belajar Sekolah Pertanian Alami dan Kampung Iklim (Sekolah PAKI) yang diinisiasi oleh Komunitas Swabina Pedesaan Salassae (KSDS) di mentori oleh seorang pegawai negeri sipil Kabupaten Bulukumba.

Tentu berbagi informasi, secara khusus ia memantik pengetahuan tentang perubahan iklim. Kenapa perubahan iklim? Beberapa data hasil riset dan temuan lapang menjelaskan bahwa perubahan iklim membawa dampak cukup besar bagi keberlangsungan ekologis. Begitupun dengan penghidupan mahluk semesta alam.

Hasil Study Climate Central menunjukkan data tahun 2020, 300 juta penduduk dunia akan tenggelam akibat naiknya air permukaan air laut. Di Asia, Indonesia, Tiongkok Daratan, Bangladesh, Vietnam, Thailand sesuai dengan karakter geografis yang tinggal daerah pesisir laut.

Tri Nuke Pujiastuti peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sepakat dengan hasil penelitian itu, dan sudah memproyeksikan permukaan air laut akan naik 25-50 cm pada tahun 2050. Kemudian pada tahun 2100, air laut akan menggenangi sebagian besar kota pesisir Indonesia.

Persoalan ini, tentu tak begitu saja hadir. Namun ada hubungan Sebab akibat. Mungkin karena perlakuan manusia, atau yang lain. Tapi pastinya iklim kita berubah. Bukan membaik, tapi mengancam penghidupan.

Namanya Pak Ardi, lahir 31 Oktober 1981 di Makassar, lama mengabdi sebagai abdi negara di Dinas Lingkungan Hidup. Informasi tentang perubahan iklim cukup lengkap olehnya, berbekal pengalaman dan pengabdiannya ia ingin berbagi informasi dengan peserta sekolah, informasi yang tak bisa disimpan, harus dishare. Sebab jika tidak, pembiaran perlakuan kita pada lingkungan akan tak terkontrol.

Informasi itu, Tanggap Perubahan Iklim. Tapi kali ini khusus di Desa.

Kenapa Harus Desa? Seharusnya bukan hanya di Desa, tapi dimanapun tempatnya, cuma kali ini kita coba ke Desa.

Ada pandangan begini, Desa merupakan miniatur Negara. Jika desa tak dijaga maka akan berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara, bisa jadi bukan hanya Negara tapi Dunia.

Sebagai miniatur, tentu ada peran penting Desa untuk Negara, termasuk soal perubahan iklim yang sekarang dirasakan di suluruh belahan Dunia. Perubahan iklim bisa ditelusuri dari berbagai macam fakta lapangan dilingkungan kita, misalnya desa Salassae sebagai salah satu miniatur itu.

Masyarakat Salassae, Mayoritas petani. Lebih dari 80% penduduknya berprofesi demikian. Akhir-akhir ini, kurun waktu 7 tahun terakhir anomali cuaca berdampak pada produksi hasil tani.

Di sawah dan kebun, curah hujan kadang tinggi sekali, Begitupun dengan panas matahari dengan rentan waktu lama, Ya Tak menentu. Keterpaparan terhadap perubahan iklim harus diterima, karena kuasa kita hanya ada dua upaya, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tersebut.

Tentunya daerah pesisir juga demikian, ada resiko yang harus diterima atas perubahan iklim. Tapi jangan pasrah.

Lalu bagaimana Tanggap Perubahan Iklim oleh Desa?

Melalui Peraturan Menteri Desa No 13 Tahun 2020 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2021 dan Permendes 21 Tahun 2020 Tentang Pedoman Umum Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa mengisyaratkan agar upaya Intervensi Perubahan Iklim bisa dilakukan oleh Desa, sesuai arah pembangunan Sustainable Development Goals (SDGs), yang salah satu poin dari 18 poin percepatan pembangunan Nasional, adalah Desa Tanggap Perubahan Iklim.

Tentu, selain kontruksi pembangunan yang bersifat hirarkis, dari pemerintah pusat, gerakan kultural masyarakat desa tak kalah penting sebagai inisiator subjek pembangunan desa dan negara. Perannya tak boleh dinafikan, masyarakat harus berada dibarisan utama. Karena perubahan iklim dan atas dampaknya mereka sangat terdampak, hasil panen turun, lahan kritis, dan sebagainya adalah contoh nyata yang dirasakan. Jadi harus terlibat.

Saat ini, kegiatan inisiasi oleh masyarakat, seperti petani, pemuda dan juga pemerintah telah ada yang berkaitan dengan tanggap perubahan iklim, namun belum massif. Masih dalam bentuk spot-spot saja. Nantinya harus lebih massif jika tak ingin perubahan iklim merenggut semuanya.

Kembali ke Pak Ardi, sebagai abdi negara telah memberi contoh, tanpa honor dan SPPD perjalan kedinasan ia tetap hadir pada proses mengajar dan belajar bersama Petani yang terlibat di sekolah PAKI. Jumlah dan Susana kelas belajar tak begitu formal, kadang ramai kadang sepi.

Begitupun sekolah PAKI, dan untungnya Pak Ardi tetap semangat untuk terlibat menjadi bagian dari Sekolah PAKI meski suasana belajar tak seperti kelas belajar pada umumnya yang formal.