Ada fenomena yang mengkuatirkan. Fenomena ini terjadi kala era internet berkembang sangat massif dan tak terkontrol seperti sekarang.
Fenomena itu ditandai dengan munculnya beberapa orang yang senang sekali membagi informasi tidak jelas. Beritanya cuma fitnah. Isinya Hoax belaka.
Anehnya, Ketika di tunjukkan bukti kalau beritanya hoax atau fitnah. Mereka dengan enteng berkata, “kan aku cuma share untuk jaga-jaga siapa tahu benar dan sebagainya.”
Tapi entah mereka lupa atau pura-pura lupa kalau tiap share berita di internet yang membacanya bisa ratusan hingga ribuan orang.
Dulu sebelum ada internet, kita kadang mendengar ada satu atau dua orang hidupnya hancur karena kebohongan dan fitnah yang ditimbulkan dari kebencian.
Sekarang parah. Jumlahnya sangat banyak. Orang-orang tidak peduli berapa banyak kebencian yang telah ditanam dan akibat yang ditimbulkan.
Malah ditengarai ada yang sengaja dipelihara. Dirawat baik-baik. Disiram, disemai diberi pupuk. Agar tumbuh subur. Seperti tanaman. Tapi tanaman yang beracun.
Alhasil Hoax (fitnah) dan caci maki sudah berubah menjadi tanaman pembunuh. Begitu mencium aroma bunganya. Anda bisa mati seketika.
Sialnya, dalam masyarakat yang tingkat literasinya belum signifikan banyak yang mudah terprovokasi. Ketika sudah bicara isu-isu sensitif seperti isu SARA atau politik, orang makin toleran pada hoax dan fitnah.
Argumen umumnya karena pendukung X pakai hoax maka pendukung Z merasa tidak apa-apa membalas dengan hoax. Hoax dibalas hoax.
Kekurangannya dicari-cari dan dikuliti sampai ke bilik-bilik paling privat. Diumumkan ke medsos agar kebencian terpuaskan. Bahkan kalau tak ada pun sengaja dicari-cari.
Caci maki dibalas caci maki. Dan orang senang menari mengikuti iramanya.
Dimensi kemanusiaan seperti tidak penting lagi. Mau marah kek, mau sedih kek, mau hancur kek, tak jadi soal. Yang penting aku puas melampiaskan kekesalan.
Yang penting jadi kelompok pemenang. Masing-masing pihak merasa tidak berdosa.
Sedihnya, yang melakukan itu sebagian adalah orang-orang yang mengaku bertuhan atau beragama.
Padahal agama diturunkan agar hidup manusia menjadi terarah. Baik di level individu atau level sosial supaya tidak mengalami kerusakan dan kekacauan.
Namun yang terjadi sebaliknya, perlahan-lahan kita saling memangsa, menghancurkan demi orang atau kelompok yang jika kita miskin dan sakit mereka tidak peduli sebab sibuk berebut kekuasaan dan Menumpuk kekayaan.
Hanya karena ingin memuaskan ego dan nafsu, kita meremehkan mudharatnya dusta dan fitnah. Perpecahan pun sangat terasa.
Enteng betul kita menyebar fitnah dan saling mencela. Kita memburu aibnya. Saling merasa benar.
Sadarkah saat ikut share berita amal share kita tercatat? Jika yang kita share adalah dusta, fitnah, provokasi maka kita ikut dalam arus dosa digital.
Mari perhatikan berapa banyak orang yang ikut-ikutan share kebohongan dan senang jika ada pertengkaran.
Lalu bandingkan berapa banyak yang peduli pada ancaman dari Tuhan tentang hukuman atas penyebaran dusta dan fitnah?
Kalo anda pengguna media sosial, saya yakin anda sudah tahu jawabannya. Karena begitulah yang terjadi dalam dunia digital.
Pastinya, jangan lupa semua ada pertanggungjawabannya. Ketika kita masih di dunia atau sudah meninggal.
Warisan jejak digital akan abadi. Sulit terhapus. Dan lagi semua kekuasaan, harta dan kuota tak kan bisa membela kita ketika tubuh sudah dipendam dalam tanah..
Jadi pilihan ada di tangan kita.
Apakah kita ingin dikenang oleh anak cucu kita. Oleh tetangga kita. Oleh netizen sebagai salah satu dari penyebar hoax yang destruktif atau tidak.
Secerdas apapun kita, berdalih menyamarkan kebencian di hati dan dusta kita dihadapan manusia, kita tidak bisa berdusta di hadapan Tuhan karena dia Maha Mengetahui lagi maha teliti.
Kalau yakin Dia Maha Mengetahui idealnya kita lekas menengok hati dan perbuatan kita.
Segera benahi diri. Ini waktu yang tepat untuk memperbaikinya. Ramadhan adalah bulan ampunan. Sebelum segalanya jadi terlambat.