Andre Gurutta (AG) atau KH. Ali Yafie adalah salah satu ulama Fiqih terkemuka di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Rais Syuriah PBNU, ketua umum MUI dan dewan penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Ia memang tidak pernah menempuh pendidikan formal secara lengkap tetapi kecerdasan pikirannya tak kalah hebat dari para alumni sekolah formal.
Ia mampu, bahkan sangat mampu, duduk satu forum dengan intelektual sekelas Nurholis Majid, Quraish Shihab atau Habibie. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Cak Nur pernah berkata bahwa Kyai Ali Yafie itu diam-diam tetapi pintar.
Gurutta atau Kyai Ali begitu ia akrab disapa lahir di desa Wani, Donggala, Sulawesi Tengah, 1 September 1926. Tepat bulan yang sama saat muktamar NU pertama digelar.
Ia berasal dari keluarga terdidik dan memiliki nasab yang istimewa. Ayahnya yang bernama Muhammad Yafie adalah seorang ulama yang mendirikan Pesantren Nasrul Haq di Amparita, sekaligus menjadi pengasuhnya.
Sedangkan kakeknya adalah Syekh Abdul Hafiz Bugis salah seorang ulama termasyhur di Indonesia yang pernah menjadi guru besar di Masjidil Haram.
Dengan melihat latar belakang keluarganya, juga silsilah keturunannya yang istimewa maka tidak mengherankan jika ia juga menjadi ulama besar mengikuti jejak ayah dan kakeknya.
Gurutta Ali Yafie mengawali pendidikan dari orang tuanya sendiri. Setelah itu, ia menyelesaikan pendidikannya di Vervolg School (semacam lanjutan dari sekolah rakyat Belanda) di pare-pare.
Ia termasuk anak yang memiliki kecerdasan tingkat tinggi. Pada usia 12 tahun, Ia sudah bisa membaca kitab kuning dengan lancar. Ia yang haus akan ilmu pengetahuan melanglang buana dari pesantren ke pesantren di Sulawesi dan belajar pada ulama-ulama di sana.
Diantara guru-gurunya di Sulawesi adalah Syekh Ali Mathar (Rappang), Syekh Haji Ibrahim (Sidrap), Syekh Mahmud Abdul Jawwad (Bone), Syekh As’ad (Sangkang), dan Syekh Ahmad Bone (Ujung Pandang). Setelah itu, ia juga belajar secara otodidak dengan berbekal minat bacanya yang sangat tinggi.
Selain berguru kepada ulama-ulama Indonesia, Ia juga pernah menjadi murid dari Syekh Abdul Rahman Firdaus, seorang ulama pengembara dari Makkah. Kepada ulama ini ia belajar fikih, Tafsir dan sastra Arab.
Tidak hanya itu, karena Syekh Abdurrahman Firdaus adalah seorang pengagum Syekh Rasyid Rida, maka Gurutta Ali pun ikut mengenal pemikiran-pemikiran tokoh pembaharu tersebut.
Ia juga dikenalkan pada pemikiran tokoh-tokoh lainnya, Muhammad Abduh dan Jamaludin Al afghani.
Pada tahun 1947, Gurutta Ali Yafie diangkat oleh Jepang sebagai mubaligh dan juru penerang bagi Jamiyah Islamiyah yang dibentuk oleh pemerintah Jepang.
Di tahun yang sama ia juga merintis berdirinya Pesantren Darul Dakwah Wal Irsyad (DDI) di Parepare dan menjadi pengasuhnya.
Selain aktif di pesantren Darul Dakwah Wal Irsyad, Ia juga aktif di organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan, ia pernah menjabat sebagai Rais Syuriah PBNU dan Rais Am PBNU menggantikan Kyai Ahmad Sidiq yang wafat sebelum menyelesaikan masa jabatannya.
Gurutta Kyai Ali Yafie termasuk seorang kyai yang mumpuni. Selain aktif di NU ia pernah tercatat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin Makassar periode 1966-1972.
Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), dewan penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), anggota The Habibie Center.
Serta pernah menjadi anggota DPR/MPR sejak tahun 1971 sampai 1987.
Selain beberapa pengalaman tersebut masih banyak pengalaman dan jabatan lain yang pernah ia emban. Karena itu tidak mengherankan jika ia mendapatkan penghargaan bintang Mahaputra dan Bintang Satya Lencana Pembangunan.
Penghargaan yang diberikan kepada putra dan putri terbaik bangsa karena telah memberikan sumbangsih yang begitu besar kepada negara.
Oleh karena itu tentu banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dari kisah kehidupan Kyai Ali Yafie, apa saja pelajarannya?
A. Bisa Bergaul dengan Golongan Manapun
Banyaknya aktivitas dan jabatan yang di tekuni dan diamanatkan dipundak, dapat dikatakan bahwa Gurutta adalah sosok yang bisa bergaul di atas semua golongan dan dapat diterima dengan baik. Intinya, Selain pintar bergaul. Juga pandai memposisikan diri.
Makanya tidak heran kalau Gurutta bisa diterima dan bahkan menjadi bagian terpenting dari golongan tersebut. Itulah keistimewaan yang melekat pada dirinya.
B. Konsisten di Dunia Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, Gurutta yang dikenal berpikir moderat dan modern ini telah berkecimpung sejak usia 23 tahun. sampai tidak mengherankan sampai usia senjanya ia masih menjadi dosen di beberapa Universitas.
Selain menjadi pengasuh pesantren yang ia dirikan ia juga tercatat sebagai guru besar UIN Syarif Hidayatullah, guru besar Institut Al-quran Jakarta dan guru besar Universitas Islam As Syafi’iyah.
Semua jabatan atau gelar dalam dunia pendidikan tersebut semakin menunjukkan betapa Gurutta Ali Yafie sangat cinta terhadap pendidikan.
Tentu saja, bukan hal yang aneh Jika ia kemudian menjadi guru besar di berbagai universitas di negeri ini. Hal tersebut berkat dedikasinya yang tinggi terhadap pendidikan. Ia yang konsisten dalam dunia pendidikan akhirnya mendapat kehormatan dari dunia tersebut.
Kini, Gurutta Ali Yafie tentu tak mengajar lagi. Kyai yang begitu dihormati warga NU ini Semalam sekitar pukul 22.13 WIB telah berpulang ke rahmatullah. Dengan menitipkan banyak pelajaran hidup pada kita.
Pelajaran hidup itu diantaranya:
“Cintailah setiap bidang yang kita geluti, niscaya kelak apa di cintai itu akan balik memberikan sesuatu yang sama sekali tidak akan mengecewakan kita.”
Selamat Jalan Gurutta..