Gus Baha, Ramadhan dan yang Kita Tanam.

Gambar : Pepnews.com

Baru-baru ini ada hal yang menghenyak kesadaran beragama. Pesan ini Dari Gus Baha. Kiai kampung yang pemahamannya menembus dan menjernihkan logika beragama : sederhana dan ngena.

Saat peringatan Malam Nuzulul Qur’an yang dilangsungkan PBNU Jum’at, 22 April 2022 ini, Gus Baha hadir dalam ruang virtual. Dalam mauidhoh khasanah awal yang saya nikmati lewat YouTube TVNU, sederhananya begini isinya. Gus Baha meminta maaf karena tidak bisa hadir langsung.

“Saya minta maaf ndak sempat datang dan mungkin sebaiknya memang saya ndak datang karena saya masih ngaji pasanan, ngaji kilatan. Saya sering cerita ke orang-orang kalau ada rapat ketahanan pangan, yang rapat ya baik karena mengatur ketahanan pangan, tapi yang ndak rapat dan menanam padi itu juga baik karena yang riil mempertahankan ketahanan pangan. Jadi kalau semua rapat yang menanam padi siapa, kalau menanam padi semua siapa koordinasi supaya dikirim ke mana, diatur bagaimana itu butuh rapat. Tapi riil kebutuhan padi itu butuh penanam”.

Cukup. Dawuh tentang ini saja sudah membuat saya memetik, bahwa kerja riil keagamaan : membersamai masyarakat di kampung mengajarkan agama seperti Gus Baha itu juga memiliki posisi istimewa dalam beragama. Dan juga bahwa yang disebut tokoh agama juga tidak melulu yang ‘ikut rapat’ tadi, tapi yang kerja riil di kampung-kampung juga memiliki posisi mewah. Saya tidak sedang membelah mana elit agama dan bukan. Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa praktik riil keagamaan merupakan hal tak terpisahkan dari ajaran agama. Sebagai ‘penanam’. Ini penting dan dibutuhkan.

Soalnya begini. Di bulan Ramadhan penuh berkah ini, kita tak jua di-puasa-kan dengan adegan saling serang : fisik maupun hujatan via cuitan dan status di media sosial. Makin puasa, makin ramai. Protes jalanan, pengeroyokan, kemudian ditindaklanjuti dengan saling tuduh di media sosial. Tak ketinggalan saling lapor kemudian. Yang melakukan bukan lagi atas nama pribadi, tapi sudah mengatasnamakan kelompok dan lembaga. Dalam bingkai kebangsaan dan dalam konteks Ramadhan, kok tak ada beda intensitas dengan bulan-bulan sebelumnya. Tebaran kebencian berseliweran, mudah ditemui di semua lini masa.

Bahkan ada fenomena, ini keluarga saya. Ritual Ramadhan-nya lengkap, pokoknya amalan yang jarang dilakukan di bulan sebelumnya ia lakukan. Tapi dalam WAG keluarga masih juga sebar informasi yang tidak karuan juntrungannya, meresahkan. Dari itu, saya kok ndak melihat ‘bahagia’ Ramadhan dari yang ia share, yang ia bagikan.

Atau baru-baru ini. Ada komplain berlebihan dari tetangga. Hal ini dipicu, si tetangga ini tidak bisa memperoleh akses jalanan dan saluran selokan seperti yang ia harapkan sebelumnya. Padahal, status jalanan : tanah milik pribadi dan fasilitas tersendiri bagi kompleks tertentu. Dan si tetangga ini, sebenarnya juga punya akses jalan tersendiri, jalan umum. Cuma, jalan khusus tadi ini kebetulan menyentuh samping rumah si tetangga. Memang dekat, tapi menjadi aneh, kenapa orang merasa begitu berhak atas tanah pribadi seseorang. Dengan ini, saya menjadi geli, karena tetangga lain, yang tak seiman justru menerima apa adanya status jalanan tadi dengan segala prasarananya.
***

Benar kata Gus Baha. Penting bagi kita menjadi penanam : apa yang kita share di media sosial dan bagaimana kita bersentuhan dalam konteks sosial. Semua bibit yang kita tanam dalam ingatan publik dan masing-masing person. Tapi tentu beda kualitas dengan yang dimaksud Gus Baha bahwa dirinya sebagai ‘penanam’.

Untuk balasan dari tebaran bibit yang telah kita tanam hambur selama ini, rasanya tak elok mengomentari. Karena bagi yang biasa menanam bunga dan semacamnya, tahu lah akan jadi apa bibitnya.

Masih. Ada hal yang sebenarnya mengganjal akhir-akhir ini. Saya menyaksikan ada kegiatan sosialisasi tentang integritas, bebas pungli, korupsi dan sejenisnya di salah satu lembaga berbasis agama. Wajar? Menurut saya janggal. Karena ini kan lembaga yang personnya ceramah agama siang-malam-subuh, mayoritas personilnya banyak hafal ayat dan hadist. Soal integritas dan sejenisnya, kan mestinya khatam sejak dalam ucapan, apatah lagi perbuatan. Atau sosialisasi ini hanya sekedar kegiatan formal menggugurkan kewajiban. Meskipun begitu, kalau ini dikaitkan dengan yang selama ini kita tanam, kok ndak ada yang tersinggung ya?.

Tapi, saya diantara yang sreg dengan pandangan tokoh agama yang kira-kira begini : kalau tidak cukup tahu banyak tentang ayat dan dalil, cukuplah dengan berbuat baik. Saya pernah baca ini dari tweet kiai @Taufiq Damas, tapi mohon maaf saya lupa detail dan tanggal pastinya. Dengan tweet ini saya merasa tertolong dan tak berkecil hati, sekaligus melegitimasi kemalasan saya menghafal hadits ketika Sekolah Arab dulu. Hehe..