Gus Dur dan Indonesia Darurat Humor

Penyair Jerman Berthold Brecht, pernah bertanya “Tahukan anda negara yang sengsara di dunia? jawabnya Negara tanpa humor”.

Apakah Brecht serius?

Iya, dia tidak bercanda. Dia serius.

Alasannya karena Ia hidup pada masa Hitler berkuasa. Masa saat sang diktator menerapkan sistem fasis dengan mengekang kebebasan.

Ketika berkuasa semua yang menentangnya akan di habisi. Demokrasi di berangus. Tak boleh ada kritik. Kritik berarti melawan penguasa. Apapun bentuknya termasuk humor.

Menurut Brecht, humor adalah bagian terpenting dari peradaban sebuah bangsa. Salah satu tolak ukur kebesaran bangsa itu adalah bagaimana humor dihargai.

Saya lalu teringat Bangsa ini.

Indonesia adalah bangsa yang besar. Negara kampiun demokrasi dunia. Katanya di sini orang dihargai meskipun punya pendapat yang berbeda dengan orang lain.

Katanya bangsa ini juga tidak alergi kritik. Termasuk yang disampaikan dengan humor. Tiap minggu saya nonton stand up comedy, isinya humor sarat kritik. Tapi Semuanya baik-baik saja. Tak ada masalah.

Makanya saya heran ketika mendengar ada kasus yang menimpa seorang warga di kepulauan Sula. Dia dipanggil polisi untuk mengklarifikasi postingannya di media sosial berupa quote Gus Dur tentang Polisi jujur.

Padahal Tito Karnavian saat menjabat Kapolri pernah menanggapi humor itu, “Almarhum Gus Dur tidak pernah menyindir polri. Ucapan beliau tidak membuat kami marah atau kecewa. Melainkan kami jadikan cambuk dan intropeksi diri dan pembenahan organisasi. Agar kelak anggota Polri mempu menjadi Hoegeng-Hoegeng yang baru. Kami belum sempurna. Namun kami akan terus berusaha memenuhi harapan almarhum Gus Dur menjadi polisi yang profesional, jujur dan terpercaya”.

Sampai disini, jelas. Polri harus terus berbenah dan mau mendengar agar bisa menampilkan performa terbaik dalam mengayomi masyarakat. Sehingga harapan Gus Dur memisahkan institusi Polri dari TNI waktu menjabat sebagai presiden tidak sia-sia.

******

Memang Semasa hidup Gus Dur tak lepas dari humor. ia begitu identik dengan humor. Rasanya kurang afdol bila berbicara tentangnya tak mengikutkan humor di dalamnya.

Sewaktu menjabat presiden, Gus Dur juga mengelola negara dengan jenaka. Lewat cara-cara yang bukan hanya menertawakan kekuasaan dan peristiwa di sekelilingnya. Tapi juga menertawakan dirinya sendiri.

Tiga tahun pemerintahannya di lalui penuh warna.

Masa transisi yang keras menjadikan orang kaku. Emha Ainun Najib sampai berkata, Gus Dur jadi presiden memang sudah waktunya. Ketika orang butuh rileks dan santai.

Meski kadang kala manuver politiknya menjadikan orang yang kurang paham, bukannya santai malah galau dan bertambah stress.

Pada sidang paripurna DPR, 18 November 1998. Gus Dur sempat mengolok-olok DPR. Menyamakan mereka dengan anak TK yang membuat sebagian wakil rakyat meradang. Tapi ada juga tertawa bahkan setuju dengan Gus Dur.

Dalam sebuah kesempatan Gus Dur pernah ditanya pandangannya tentang korupsi. Sambil berkelakar Gus Dur mengatakan,

“Waktu Orde Lama orang mengambil amplop dari laci meja. Sementara pada masa Orde Baru, orang memasukkan amplop dalam map dan di letakkan di atas meja. Tapi sekarang orang tidak lagi mengambil amplop dari dalam laci meja atau mengambilnya dari dalam map yang diletakkan diatas meja. Melainkan diambil semua termasuk dengan meja-mejanya.”

Itulah Gus Dur.

Hakekat pemikiran Gus Dur adalah humor. Gus dur dan humor bagai dua sisi mata uang. Memisahkan Gus Dur dengan humor ibarat memisahkan rasa manis dari gula. Atau memisahkan rasa asin dari garam.

Sayangnya hari ini tak ada lagi sosok tokoh dari sipil atau politisi ulung sekelas Gus Dur yang selalu menawarkan humor-humor segar nan menggelitik dalam menjawab silang sengkarut bangsa ini.

Kita butuh orang atau semangat yang serupa Gus Dur, untuk bisa membuat kita tertawa ramai-ramai dengan humor-humornya. sehingga perut kosong di masa pandemic tak terlalu terasa. Atau yang umum di dengar, rasa gembira bisa jadi imun bagi tubuh dan Covid-19 menjauh.

Sepertinya kini memang.. Indonesia darurat humor.