Beliau, Hasna Nompo Lemo. Calon haji Kabupaten Maros yang dengan tenang mengungkap bahwa dirinya berangkat sendiri ke Tanah Suci. Maksudnya tak bersama sanak saudara.
Padanya, kita dan sebetulnya saya harus belajar bahwa segala pengorbanan itu dibutuhkan. Ia menceritakan bagaimana sebagian harta berharganya dilepas untuk menunaikan rukun kelima ini. Dan dengan kondisi fisiknya, tentu ada pengorbanan yang tak mungkin ia ceritakan.
Ada guyonan di kampung: kalau haji atau umrah tidak jual tanah, itu kurang kadarnya. Ya, karena ibadah ini, katanya harus penuh perjuangan dan pengorbanan. Kalau tanpa jual-jual itu, ya (katanya) apa bedanya dengan ibadah-ibadah lain yang bersangkutan.
Kesabaran dan ketenangan, ini beberapa ucapan lazim. ‘Panggilan’, ini kata sakti yang biasa juga digunakan alibi untuk yang sudah mampu. Katanya, belum dipanggil, padahal mungkin belum merasa atau bahkan tak mendengar panggilan itu. Saya ingat ceramah Gus Mus untuk ini. Persisnya bukan terkait haji, tapi menurut saya relevan. Kira-kira substansinya begini, ‘jangan sampai kita ini terlalu sibuk, terlalu ribut soal urusan dunia, sehingga tak mendengar nasihat dan panggilan-Nya. Bisa saja.
Tapi bagi yang belum mampu, menurut saya banyak ibadah lain yang juga luar biasa dalam pandangan agama. Membantu tetangga sekitar dengan jajan, menurut Gus Baha itu sedekah yang tak membuat malu yang diberi. Ini bukan perbandingan ibadah ya, tapi sekedar mengukur tingkat peduli.
Melihat Hasna Nompo, saya mulai menyadari dan memegang-megang lutut sendiri, sembari mengingat saat lagi malas-malasnya ibadah, saat mengatakan, “karena lokasi masjid agak jauh dari rumah.” Saya kira tepat, bahwa malas hanya alasan untuk menutupi ketidakmaksimalan.
Nah, ternyata ada cerita berliku di balik keberangkatan Hasna Nompo.
Karena kondisi kesehatan, pihak keluarga sempat berencana membatalkan. Clear dibatalkan. Terkait ini, menurut penjelasan staf PHU Kamaruddin, sudah ada beberapa langkah administratif untuk penundaan keberangkatan.
Tapi kemudian, arah keberkahan berputar kembali. Ada satu pihak keluarga yang ‘ngotot’ bahwa orang tuanya harus berangkat haji tahun ini!
Akhirnya, dengan segala upaya: komunikasi berjenjang, beruntun dengan penuh kepedulian pada jemaah, akhirnya Hasna Nompo bisa menjadi jemaah calon haji kloter 3 Kabupaten Maros tahun 2023. Kamaruddin juga memberikan informasi: bahwa terkait kebugaran fisik jemaah, ada tim kesehatan yang memiliki kewenangan, juga akan melayani dan bertanggung jawab.
Tingkat keikhlasan dan keyakinan keluarga yang sampai puncak. Menurut saya ini juga menjadi poin penting. Jadi terjawab sudah, bagaimana Hasna Nompo begitu tenang ketika berada di ruang keberangkatan aula Arafah Asrama Haji Sudiang.
Tapi saya juga yakin, Hasna Nompo akan ibadah dengan baik nan tenang di Tanah Suci, karena pelaksanaan haji 2023 ‘Ramah Lansia’. Sumber daya dan fasilitas pelaksanaan haji tahun ini memberikan prioritas khusus bagi mereka.
Lansia, bukan karena usia saja mereka diberi porsi pelayanan spesial. Tapi haji dan kemanusiaan memang harus selalu beriringan dan bergandengan.
***
Rukun Islam kelima ini, menurut saya bukan hanya fisik yang diperjalankan ke Tanah Suci, tapi sisi kemanusiaan kita yang juga mesti disucikan, bahkan mungkin berulang.
Idealnya, akan lebih banyak lagi, manusia yang lebih sensitif terhadap nasib sesama, nasib saudara, nasib tetangga yang misalkan kesulitan penuhi ongkos sekolah anaknya.
Haji, bukan hanya titel nama dan status sosial kosong. Ia harus berisi: kedermawanan, kepedulian, keramahan, kesopanan dan label-label kebaikan. Label yang meninggikan marwah kemanusiaan.