HARIMAU BELANG

Gambar : Google.com

Menot mengusap perutnya yang tengah hamil lima bulan. Hatinya sedikit cemas. Hujan yang tak kunjung reda membuatnya teringat dengan Nalis, lakinya yang sudah pergi sejak subuh. Bukan pergi menyadap karet seperti biasa. Bukan. Nalis dan lanang-lanang dewasa dusun Tanah Abang sedang pergi berburu. Bukan asal berburu pula, tapi berburu harimau belang.

Tengkuk Menot meriap, bulu kuduk di lengannya juga ikut berdiri ketika dia menyebut hewan itu dalam hatinya. Harimau belang. Binatang yang selama ini mereka keramatkan. Orang-orang Tanah Abang percaya, harimau belang adalah titisan leluhur dari masa silam. Puyang, begitulah mereka menyebutnya.

Harimau belang tak boleh diburu. Tak boleh dibunuh. Bila ada yang berpapasan dengannya di rimba karet atau pun belukar, biarkan saja harimau itu lewat. Atau jika seseorang melintas di hutan dan ada harimau belang, dia harus permisi.

Lantas, apa pasal yang membuat orang orang Tanah Abang berbalik arah?

Sebulan silam, harimau belang keluar dari dalam rimba, masuk ke dusun dan memangsa ternak. Beberapa kambing sudah di makan, juga anak sapi. Mula-mula orang dusun tak tahu ihwal ini, mereka menduga dusun sudah tak aman. Ada maling yang menggondol hewan-hewan itu. Seminggu kemudian beberapa orang menyaksikan sendiri, harimau belang berukuran besar menyergap kambing yang sedang merumput di darat dusun, batas kampung dengan rimba.

Cerita tentang harimau yang menyergap kambing milik Seron itu segera edar. Orang-orang yang penasaran segera mengikuti je-
jak harimau yang membekas di tanah, juga bekas badan kambing yang diseret. Hanya beberapa ratus meter, mereka menemukan tulang belulang dan sisa-sisa kambing malang itu. Di sana pula, orang-orang kampung menemukan sisa hewan lainnya yang mulai membusuk.

Lantaran inilah, orang-orang mulai memasukkan ternaknya ke dalam kandang.

Atau hewan-hewan itu dikat dan merumput di tengah dusun. Tak dibiarkan lagi berkeliaran sampai dekat hutan rimba itu. Tetapi inilah kesalahan besar itu. Rasa lapar di perutnya, membuat harimau mengubah sasaran. Tiga minggu tak mendapatkan ternak lagi, dia menyergap anaknya Kudik. Bocah laki-laki enam tahun itu diterkamnya saat tengah bermain perang-perangan dengan kawan-kawannya di darat dusun. Kawan-kawannya histeris. Pucat pasi dan lari terbirit-birit, meninggalkan bocah itu menjerit-jerit dan diseret harimau ke dalam rimba.

Gemparlah dusun Tanah Abang jelang siang itu. Waktu yang semestinya tengah mati lantaran orang-orang muda dan kuat tengah bergumul dengan pokok karet, tambang batubara Serpuh, atau bergumul dengan gelondongan kayu di BHT, pabrik bubur kertas, di hulu kecamatan. Baru kali ini, sepanjang sejarah Tanah Abang, puyang menyerang dan memakan manusia. Lanang-lanang berbondong mengejarnya. Malangnya, anak lanang kudik itu sudah tewas.

“BESOK aku akan ikut orang-orang berburu rimau,’ ucap Nalis tadi malam, ketika dia dan Menot duduk di dapur. Kedua anak lanangnya, Latas dan Pebot, sudah tertidur pulas di tengah limas. Menot segera menoleh, lakinya itu terlihat menyeruput kopi hitam yang Menot letakkan di atas meja.

“Tak usahlah, Bang. Nanti kualat berburu puyang,” Menot tak ingin ingin ada hal buruk yang menimpa Nalis, dia, dan anak-anaknya. Terlebih Menot tengah mengandung anak ketiga mereka. Perempuan berumur dua puluh enam tahun itu masih percaya jika seseorang tengah hamil, lakinya tak boleh berbuat macam-macam dengan binatang.

Keyakinan iní makin kuat karena ketabuan ini bukan mitos semata. Anak pertama Ceok terlahir dengan badan lumpuh layu, tak bisa bergerak, terkapar saja di atas kasur walau bujang itu sudah berumur lima tahun. Dulu, saat bininya hamil muda, Ceok sempat menghajar ular hitam yang dia temui di kebun karetnya. Ular itu melarikan diri, tak mati tapi babak belur kena pukulan kayu dari mengatakan, Ceok kualat gara-gara ular hitam itu.

Tak hanya tentang Ceok. Anak gadis Genepo yang sekarang berumur empat tahun juga mengalami nasib malang. Bibirnya sumbing, lidahnya sedikit belah di ujung, dan anak cantik itu gagu. Melihat kondisi anak gadisnya, tersiar kabar kalau laki-laki berperawakan gempal itu bercerita, saat bininya hamil empat bulan, dia pergi mancing ikan baung di Danau Piabong. Seekor baung yang terjerat
pancing tiba-tiba lepas dan jatuh ke danau lagi saat Genepo hendak memasukkannya dalam keranjang. Bibir ikan itu sobek dan mulutnya rusak karena kail pancing. Mendengar itu orang-orang dusun mengatakan, nasib malang anaknya kutukan dari Ikan Baung.

Nah, bagaimana Menot tak cemas ketika Nalis bercerita hendak berburu harimau belang. Binatang yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun dianggap keramat oleh orang dusun mereka. Menot tak dapat membayangkan akan seperti apa nasib yang menimpa anak dalam kandungan ini kelak.

“”Kalau tak dibunuh, rimau itu akan makan orang lagi. lya kemarin anak lanangnya Kudik, besok-besok bisa jadi anak kita,”‘ Tukas Nalis.

“Tapi, Bang,” Menot masih berusaha membantah, dia melabuhkan mata ke arah Nalis. Keduanya berpandangan dalam temaram lampu dapur. “Aku takut terjadi hal buruk. Kau tahu sendiri aku tengah hamil. Rimau juga sangat buas, Kau bisa mati kalau diterkamnya.'” Menot memasang wajah memelas.

“Aku tak bisa, Dik. Semua lanang sudah bermufakat di rumah kades kemarin malam, kita akan memburu rimau ini. Kau tenang sajalah, ada ratusan orang. Bukan aku sendiri yang mengejarnya.’

Menot tak bisa berkata apa-apa lagi. Terlebih dia tak bisa menghapus bayangan istri Kudik yang menangis meraung-raung itu saat melihat anaknya pulang tak bernyawa. Tercabik-cabik. Perempuan berumur tiga puluh tahunan itu jatuh pingsan berkali-kali.

“”Fajar anak Samin diterima jadi satpam di BHT,”‘ ucap Nalis lagi, tiba-tība. Menot tersentak, dia menoleh. “Lumayan besar gaji jadi satpam. Sayangnya orang-orang dusun cuma kebagian jadi satpam, tukang tebang kayu, tukang angkut kayu di pabrik bubur kertas itu. Tak ada yang diangkat jadi bos.”

“‘Harus tamat kuliah kalau nak jadi bos, Bang,” sahut Menot.

Tiba-tiba terlintas pikiran ganjil dalam benaknya mendengar ucapan Nalis tadi. Apa mungkin harimau belang jadi turun ke dusun gara-gara hutan rimba di sini semakin sedikit? Pikiran ini menyelinap karena tiba-tiba Menot teringat berita di tivi yang pernah dia tonton. Di daerah Jawa monyet-monyet ekor panjang keluar dari hutan dan menyerbu rumah-rumah karena kelaparan.

Perempuan itu langsung teringat jika puluhan hektar hutan di hulu dusun ini sudah digunduli. Kayu-kayunya ditebang dan dijadikan bubur kertas. Tak hanya rimba itu yang berubah, sejak pabrik kertas BHT berdiri empat tahun lalu di hulu dusun, air Sungai Lematang jadi sering keruh. Dulu sungai akan keruh bila musim hujan dan meluap. Sekarang hampir setiap bulan air sungai berubah kuning kecoklatan dan berurat-urat. Badannya juga gatal-gatal kalau mandi di Lematang sekarang. Itulah kenapa dia sekarang lebih memlih mandi di Danau Piabong, danau di darat dusun.

Lalu pikiran Menot męlayang ke Serpuh. Dua tahun ini, orang dusun Tanah Abang dan dusun-dusun sekitarnya heboh bukan kepalang. Beberapa orang jadi kaya mendadak karena tanahnya kena operan Serpuh. Kata orang-orang yang Menot dengar, kebun-kebun karet yang dibeli Serpuh itu mengandung batubara. Tak lama beberapa kebun karet berpindah tangan, jalan-jalan baru untuk
mobil-mobil truk dibuka. Beberapa bujang Tanah Abang tamatan SMA melamar kerja di sana dan diterima; jadi tukang gali batubara!

Menot yakin sekali jika pikirannya ini benar. Harimau belang itu turun ke dusun karena kelaparan. Hutan rimba tempat dia bersarang dan beranak-pinak sejak zaman nenek moyangnya semakin hilang.

Tak mungkin puyang memakan ternak orang Kaou jika tak terpaksə, batin Menot. Dia hendak berucap, mengatakan semua hal yang bersarang dalam kepalanya. Tetapi perempuan yang hanya tamat SD itu tak berani bersuara. Lakinya tak akan mendengamya. Kalau pun dia didengarkan, apa yang bisa mereka perbuat? Pabrik bubur kertas itu sudah berdiri, tambang batu bara juga sudah ada. Ah, Kepala Menot berdenyut-denyut dibuatnya.

JARUM jam bergambar Kabah yang tergantung di dinding tengah rumah limas sudah menunjukkan angka lima lewat sepuluh menit. Hujan masih merincis di luar sana, belum ada tanda akan reda, Nalis pun belum pulang.

Menot sudah selesai masak makan malam. Hatinya masih diserang cemas. Dia ingin memastikan Nalis tak menyentuh harimau itu. Diliriknya lagi jarum jam, dia ingin mandi, tapi hujan belum reda jua. Kalau ke Sungai Lematang, mungkin masih akan ramai, tapi kalau mandi ke Danau Piabong yang berjarak beberapa ratus meter dari rumahnya itu, sudah dipastikan akan sepi. Masalahnya kulit
Menot akan gatal semalaman jika dia nekat mandi di Lematang.

“Tas, jaga adik. Emak nak mandi ke Piabong,’ ucapnya pada Latas, anak sulungnya yang berumur sembilan tahun itu. Bocah laki-laki itu hanya menoleh sekilas dan mengangguk, lalu matanya kembali tertuju ke layar tivi yang menayangkan film kartun
Spongebob. Sementara Pebot, adiknya yang berumur lima tahun duduk di sampingnya.

Menot bergegas menuruni anak tangga dapur, dia membawa payung dan tak bersendal karena takut terpeleset tanah licin. Dicengkeramnya tanah kuat-kuat saat berjalan. Perutnya yang hamil lima bulan sedikit menyulitkan langkahnya. Tebakan Menot benar, Danau Piabong sepi. Tak ada satu pun yang mandi di pangkalan. Tanpa menunggu lama, dia segera merendam dirinya di dalam air, rasa air yang sejuk dan hangat menyentuh kulitnya. Dia segera bersabun dan sedikit terlena dengan air itu.

Hampir lima belas menit Menot mandi. Dia tersadar saat merasa langit kian gelap. Perempuan itu keluar dari air, menjangkau handuk di bawah payung pinggir danau, dan tergesa ingin pulang. Tetapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di depannya. Ember sabun mandi di tangan Menot terjatuh. Seekor harimau belang bertubuh besar tengah berdiri menatapnya. Mata hijaunya sangat tajam. Kedua kaki kanannya terlihat mengambil ancang-ancang. Menot lemas. Jantungnya bergemuruh hebat.

“Puyang,” desisnya. [*]

***

Oleh : Guntur Alam

Sumber : Kompas, 12 Januari 2014