Kuingin ceritakan padamu hujan sore tadi di kampung kita.
Bisakah kau mencium aroma tanah basah yang bercampur rindu?
Rindu debu yang telah lelah berdansa di musim panas yang gersang. Kini gugur, lantak dan bersimbah buliran air yang memabukkan.
Sapalah juntaian daun intaran yang bertingkah genit di pinggir jalan menuju rumah kita.
Lihatlah kini dia riang, sudah lupa dengan dahaga yang ditahannya tak kurang dari empat purnama.
Dia basah..
Basah melayani godaan hujan yang singgah di kota kita tadi sore.
Sentuhlah ujung daun palm yang tergerai, menikmati gundah gulana sepoi angin sore yang merangsangnya.
Butiran air yang menetes itu alami, bermula dari awan yang bersekongkol menjalankan mendung dan runtuh bersama hujan yang lama dinanti.
Rasakanlah butiran itu mengeras menjadi intan karena mantera-mantera syukur yang berkumandan dalam senyap di relung-relung hati yang bersuka cita.
Doa yang kita panjatkan terbang membumbung tinggi lalu lenyap di sela-sela batang cempaka yang basah sumringah.
Terkabul doa itu, di riuhnya bulir-bulir hujan yang menikam simbar menjangan yang memeluk mesra batang kamboja.
Bangunlah di pagi hari.
Berdansalah bersama hujan atau sekedar diam menikmati pesona pelangi yang membias di cakrawala.
Datanglah menikmati tetes-tetes hujan yang tersisa di gelayutan akar anggrek lalu gugur membelai helai rumput mutiara yang lama mendamba.
Atau sekedar merasakan sunyi, sambil diam-diam menikmati sensasi hujan yang akan mengingatkanmu pada kisah satu malam di sebaris anak tangga.