Mendapat rahmat dari Allah SWT adalah keinginan atau harapan setiap manusia yang meyakini Allah SWT satu-satunya Tuhan yang Maha Esa, sehingga selaku hambanya dengan berbagai cara menunjukan rasa iman dan takwanya, dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala yang Allah tak sukai.
Di Bulan Ramadhan kali inj, dapat menjadi renungan untuk intropeksi diri terkait kualitas ibadah kita, apakah ibadah yang kita lakukan selama ini adalah bentuk pengharapan rahmat dan cinta serta kasih Allah SWT, ataukah sekedar rasa takut tak mendapatkan tempat di surga kelak pada hari kemudian.
Memang tidaklah mudah menata niat dan istiqomah dalam ibadah untuk mendapat ridho dan rahmat dari Allah SWT, dibutuhkan kejernihan hati dan keiklasan serta keyakinanan akan keesaan Allah SWT.
Namun, tidak juga menyalahkan niat dan cara implementasi ibadah setiap orang, karena setiap manusia khususnya Umat Islam memiliki cara dan tingkat keimanan yang berbeda-beda berdasarkan kualitas ibadah masing-masing.
Kita sebagai sesama hamba Allah tidak memiliki kewenangan sedikitpun untuk mengukur kapasitas dan kualitas iman seseorang. Apalagi penilaian itu hanya berdasarkan penglihatan dari covernya. Bahkan tidak dibenarkan menganggap kualitas iman kita jauh lebih baik dari kualitas iman orang lain.
Sederhana saja, disadari atau tidak terkadang dalam menjalankan syariat ibadah itu didasari oleh keinginan dan harapan, bukan atas dasar cinta dan keyakinan akan rahmat Allah SWT.
Misalkan, beribadah agar Allah memudahkan segala bentuk urusan kita, agar terpilih menjadi pejabat, jadi wakil rakyat, dilapangkan rezekinya dan dimudahkan usahanya serta agar cita-citanya dapat dikabulkan.
Ibadah semacam ini bisa disebut transaksi, seakan-akan kita sedang melakukan transaksi dengan Allah, kalau kita menjalankan perintahnya dengan harapan Allah mengabulkan segala keinginan dan permintaan kita.
Hal ini sudah keluar dari nilai ibadah yang sesungguhnya, yang tidak lagi berdasarkan ketulusan dan keiklasan berdasarkan cinta atas kedudukan kita sebagai hamba, karena tanpa kita meminta Allah dalam menciptakan manusia sudah lengkap dengan takdirnya dan rezekinya yang tidak akan mungkin tertukar.
Lantas bagaimana jika niat kita masih demikian, apakah ibadah kita selama ini sia-sia tak diterima dan tak mendapatkan amal?
Lagi-lagi itu bukan kapasitas kita untuk meminta jawaban. Sebab, amal dan dosa, Allah yang mengatur.
Tetapi manusia yang dianggap mahluk mulia karena dikarunia akal, pikiran dan hati untuk dapat berjalan dengan penuh kehati-hatian agar tetap dalam garis rambu-rambu yang Allah sudah tetapkan dan perintahkan.
Terus bagaimana kita memperbaiki agar kualitas ibadah kita bisa jauh lebih baik?.
Kembali kepada masing-masing individu untuk terus belajar menambah wawasan keagamaan, semampu kita. Nabi Muhammad SAW bersabda “Dan Apa Saja yang Aku Perintahkan, Maka Kerjakan Semampumu”, salah satu pengertian dari sabda tersebut, yaitu Allah mengetahui kualitas iman setiap hanbanya dan Allah juga tahu mana yang benar-benar iklas dan yang dipaksakan hanya untuk mendapat penilain baik dari orang di sekelilingnya.
Teringat dari salah satu cerita sebelum Nabi Muhammad SAW mendapatkan perintah sholat dari Allah, para sahabat Nabi Muhammad telah diajarkan tentang meyakini adanya Allah SWT, dan ketika Nabi Muhammad SAW mendapat perintah sholat yang kita kenal saat ini dan menjadi salah satu Rukun Islam, para sahabat Nabi Muhammad SAW menjalankannya dengan sungguh-sungguh, misalnya saat menuaikan sholat saking khusuknya mereka tidak merasakan rasa sakit dari busur panah yang tertancap di kaki mereka.
Maka dari itu, di zaman ini sulit untuk kita temui seorang muslim yang mampu seperti para sahabat Nabi Muhammad SAW, karena zamannya berbeda, karena sahabat dibimbing langsung ooeh nabi.
Namun bukan berarti tidak ada, masih ada para wali Allah yang tingkat keilmuanya mumpuni atas izin Allah.
Lantas bagaimana dengan kita. Orang yang biasa-biasa saja, untuk benar-benar khusuk masih sangat sulit, baru takbir mengangkat kedua tangan saja pikiran kita sudah lari kesana-kemari memikirkan urusan duniawi.
Dengan adanya perkara ini, saya menyempatkan diri menyambangi para kiai atau ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang saya yakini keilmuan dan sanadnya sampai ke Nabi Nuhammad SAW, untuk menanyakan persoalan tersebut.
Dari beliaulah saya mendapat wejangan pentingnya ketika habis sholat untuk tidak langsung beranjak pergi, perlu dzikir terlebih dahulu. Beristigfar dan bertasbih.
Hal ini dimaksudkan untuk menambal kebocoran-kebocaran saat sholat karena masih memikirkan selain Allah.
Nah dari sini kita bisa sedikit memetik sebuah hikmah dan pelajaran, dalam meningkatkan ketakwaan itu. Sebuah kewajiban agar kualitas ibadah kita jauh lebih baik, dan jangan berkecil hati menganggap Allah tak menerima ibadah kita yang kualitasnya masih jauh dari para sahabat nabi dan para alim ulama, karena masih ada dzikir yang bisa membantu memperbaiki kualitas ibadah kita, sehingga Allah menganggap kita pantas untuk mendapatkan cinta dan rahmatnya. (*)