Ketika Cinta(mu) Pergi

Gambar: Voi.id

Rasanya masih belum lama Rizky dan Lesti berbulan madu. Hidup mereka terasa serba manis. kepahitan sungguh tiada dirasa.

Bulan madu mereka panjang. Di masa awal perkawinan mereka berisi bahagia. Seperti hidup di surga nikmatnya.

“Apakah kau akan terus menyayangiku seperti ini?” tanya Lesti. “Kenapa tidak?” Jawab Rizky.

“Juga kelak setelah aku tua dan peot?”

“Saat itu aku pun sudah peot seperti kamu.”

“Aku bertanya, apakah kamu masih akan menyayangiku kelak setelah aku tua dan peot?” desak Lesti.

“Mung.. mungkin. Eh, tentu saja,” suaminya tergagap-gagap. Lesti tak begitu senang, tapi juga tak mempersoalkannya. Maklum hidup sedang diliputi rasa bahagia.

Namun laut tak selamanya tenang. Adakalanya badai menerjang. Di tengah biduk mengarungi lautan. Datanglah badai.

Ketika anak pertama lahir, hidup mereka yang sebelumnya terasa seperti di surgaloka berubah. Lesti pun pelan-pelan berubah. Dia makin peka terhadap gejala perubahan tingkah laku suaminya. Dia mudah dibakar cemburu. Bibirnya sudah mulai pandai berkicau.

Dan Rizky yang dulu terbuka, begitu hangat dan romantis, kini alergi terhadap kicauan istrinya.

Andaikan kicauan itu seperti suara Lesti ketika mendendangkan lagu. Tak apalah. Suara Lesti merdu. Rizky pasti senang. Tapi ini beda. Kicauan itu seperti gonggongan anjing. Bikin kuping perih. Bikin hati mendidih.

Dan seperti api disiram bensin, emosi Rizky berkobar hebat. Layaknya Goliath yang perkasa Ia cekik Lesti kemudian dibanting dua kali. Akibatnya, Lesti mengalami luka di leher, tangan kiri dan kanan. Serta tubuh.

Sakit rasanya. Pasti. Tapi lebih dari itu, hancur hati Lesti. Oh.. begitu kejamnya cinta.

Kini polisi sudah memproses perkaranya. Anda pasti sudah tahu ini KDRT. Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan domestik. Artinya ada pukul-memukul antar suami-istri. Jadi atau tidaknya peristiwa itu tergantung pengaduan korban. Makanya dimasukkan dalam kategori delik aduan.

Pakar hukum pidana Prof. Komariah E. Sapardjaja berkata, tidak ada yang tahu persis hal-hal yang terjadi diantara sepasang suami-istri, selain pasangan itu sendiri. Apalagi bila menyangkut perkara cinta.

Orang bilang, bila sudah menyangkut urusan cinta, jangankan desir angin, letusan gunung pun tak kan sanggup mengungkapannya.

Sama bunyi syairnya Sapardi Djoko Damono, bahwa mencintai dengan sederhana adalah:

“Seperti ungkapan kayu kepada api yang langsung menjadikannya abu. Atau awan kepada hujan yang langsung menjadikannya tiada”.

Cinta hadir tanpa memberi kesempatan berpikir atau berbicara. Semua membisu. Cinta juga apa adanya. Dan tak terbatas.

Mengenai tak terbatas. Saya teringat teman kuliah. Dulu teman itu cerita. Ia pernah ditolak seorang wanita setelah mengungkapkan perasannya. Saya tanya, memangnya dia bilang apa?

Katanya, apakah kau mau menerima cintaku yang tak terbatas? Ketika dia balik ditanya, apa maksud dari cinta yang tak berbatas itu? Ia jawab, cinta tak terbatas adalah cinta yang di dalamnya tidak saja terdapat kelemah-lembutan. Tapi juga kekerasan.

Saya tertawa mendengarnya. Bodoh betul teman saya itu. tentu saja cintanya ditolak. Dan yakin takkan ada yang mau jadi kekasihnya. Tapi ia jujur. Ia juga benar. Ia jujur apa adanya dirinya. Ia juga benar Karena cinta bisa membuat buta.

Rasa memiliki yang berlebihan. Atau toleransi berlebihan, sering menyebabkan sepasang kekasih yang semula menjalin cinta. Tetiba tersakiti.

Perumpamaan seperti durian runtuh. ada kenikmatan dan kebahagian saat menemukannya. Namun juga harus siap menerima luka dan rasa sakit di badan, pun di hati akibat tertusuk durinya.

Untuk peristiwa seperti ini, haruskah aparat hukum dengan pedih hanya bisa menyesali, ketika banyak perempuan melapor terjadi KDRT dengan lebam-lebam di mukanya sebagai barang bukti?

Kejadian seperti inikah konsekuensi dari cinta? Lalu bagaimana jika kebetulan di tengah-tengah mereka telah hadir putra-putri lucu sebagai buah cinta berdua.

Tampaknya keharusan menyederhanakan cinta sungguh tidaklah sederhana.

Maka logika berkata, cinta sesungguhnya bukan sekedar ikatan tanggungjawab melainkan juga keindahan menahan diri sebagai bentuk pengabdian cinta.

Hidup memang seperti roda berputar. Tak selamanya yang di bawah akan terus di bawah. Ada kalanya yang di bawah akan ke atas.

Keseimbangan semesta pun tampaknya ingin menyatakan bahwa dibalik kehancuran, mestinya ada kebangunan kembali. Dengan begitu betapa pun memburuknya suatu hubungan, kekerasan masih bisa diminimalisir.

Karena bila menyangkut masalah cinta yang timbul, terawat, dan terhancurkan dalam rumitnya hubungan. Maka “kesadaran” pelaku menjadi faktor penentu harmonisnya kembali hubungan cinta diantara mereka.