Ketika Kaum Feodal Berkuasa

Ilustrasi : pinterest.com

Yang ditakutkan Sutan Sjahrir akan merusak Indonesia itu bukan kapitalisme, apalagi komunisme. Sutan Sjahrir hanya menghaturkan Feodalisme, yang berlangsung sudah begitu lama, bahkan dilanggengkan penjajah.

Kalau sekarang feodalisme masih muncul dimana-mana, dalam bentuk yang paling sederhana seperti panggilan ‘Pak’ atau ‘Bu’ ke mereka yang amtenaar atau berseragam, tapi memanggil ‘Om’ atau ‘Tanta’ kepada penggelut sektor informal, sampai ke bentuk paling agung di iklim modern ini: ‘pengkultusan’ para kepala pemerintahan hingga sebutan ‘yang terhormat’ kepada penghuni gedung parlemen yang – kadang tidak paham apa itu terhormat. Celakanya, semua kalangan tidak luput dari ini.

Coba lihat di sini:
Begitu segannya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kepada Bupati, sampai-sampai tidak berani mengoreksi kesalahan administrasi saat anggota dewan dapat SK dari bupati jadi Satuan Tugas (Satgas) Covid.

Sampai tidak berani meminta pertanggungjawaban penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang jadi dana Covid ke Bupati. Segan sama kepala daerah. Atau mungkin juga, segan karena ikut menikmati aliran dananya berkat SK tersebut.

Who knows?

Pada gilirannya, masyarakat segan menegur DPRD yang gagal berfungsi tadi. Karena mereka telah menjadi ‘elite’ yang berjarak dari kalangan jelata, sesuatu yang harus diterima sebagai kewajaran dalam iklim feodal.

Mengeritik kaum elite adalah dosa. Sebab kaum elite punya tugas suci menyejahterakan masyarakat, soal caranya urusan lain.

Begitu juga, saat elite-elite agama ikut kecipratan anggaran covid atas nama satgas, siapa yang bisa protes?

Mereka toh pantas mendapatkannya, karena selama ini merekalah orang-orang suci yang bertugas menerjemahkan kemauan Tuhan, termasuk kutuk atau berkatNya, kepada umat yang tidak paham bahasa langit. Janganlah digugat!

Meski mereka belum berhasil menerjemahkan ‘kemauan langit’ terhadap gelombang bunuh diri yang menjadi wabah baru.

Selama feodalisme tertanam jauh di alam kesadaran, selama itu pula daya kritis adalah bentuk lain krisis.

Bukankah orang sekarang lebih suka disapa dengan jabatannya daripada dengan sapaan-sapaan yang lebih membumi dan akrab? Meski antara jabatan yang disandang dengan praksis atas tanggung jawab dan kewenangan jabatan tersebut jauh panggang dari api!.