Pondok pesantren mempunyai posisi yang sangat strategis untuk digunakan bagi kepentingan pilkada. Hal itu tak lebih karena dua faktor. Pertama, lembaga pesantren yang begitu dihormati di kalangan kaum muslim dan kedua kiai sebagai pengasuh pesantren, yang begitu karismatik dan berpengaruh.
Oleh karena itu, pesantren melalui kiainya akan banyak diperebutkan oleh berbagai kalangan pada saat pilkada. Maka sudah semestinya para kiai yang mempunyai pondok pesantren waspada dan arif. Daya integritasnya benar-benar diuji dalam hal ini.
Seorang ulama (baca:kiai) adalah waratsatul anbiya, ahli waris para nabi. Oleh karena itu,, jka ada kiai yang hendak terjun ke dunia politik ia harus berhati-hati. Dalam sikap politiknya harus mengutamakan kepentingan umat ketimbang kepentingan pribadi atau pun golongannya. Dan jika seorang kiai dalam berpolitiknya lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya, maka akan rusaklah citra kiai sebagai pewaris para nabi.
Saat ini pilkada akan segera berlangsung dari mulai tingkat kabupaten hingga provinsi.
Peristiwa ini merupakan ujian tersendiri bagi para kiai dan tentu saja dengan pesantren yang dimilikinya. Kiai dan pesantrennya dituntut menjadi orang-orang yang ada di tengah-tengah dan menjembatani pelbagai orang dalam kelompok-kelompok islam (Ummatan Wasathan).
Memang banyak saat ini para kiai yang sudah menjadi politikus, baik di tingkat daerah maupun pusat. Tidak hanya karena ada tawaran dari partai politik, tetapi juga atas keinginan sendiri. Dan istimewanya, mereka pun banyak yang berbakat dalam berpolitik. Namun, harus diingatkan bahwa kiai yang terjun ke dunia politik adalah betul-betul menjadi politisi. Jangan sampai kiai menjadi politisi yang hanya pandai memanipulasi simbol-simbol agama, seperti menyalahgunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Selain itu juga jangan sampai keahlian dan kedalaman ilmunya digunakan untuk menjerumuskan umat.
Para kiai sudah semestinya mengaca pada perilaku Muhammad Saw. Sebelum diangkat menjadi nabi, ia sudah menjadi penengah di antara para suku yang bertikai. Ia juga menjadi pendamai. Untuk itu, para kiai dapat menjadi penengah dan pendamai di antara umat Islam yang saat inl terkotak-kotak dalam catur perpolitikan.
Idealnya, ia tidak boleh berpihak pada satu kelompok tertentu. Dengan sikap netral, tidak berpihak, dan tetap berdiri di tengah-tengah maka kiai akan dapat menjadi rekonsiliator.
Kita tak dapat menutup mata jika ada pesantren di tengah-tengah masyarakat banyak mendapatkan bantuan, entah berupa uang maupun barang. Tentunya para kiai sebagai pengasuh pesantren harus mewaspadainya, apakah di dalamnya ada unsur kepentingan politik atau tidak?
Dan jika kiai mengetahui bahwa hal tersebut bermotif politis, namun bantuan itu tetap diterima, maka kìai dan pesantrennya telah masuk pada ‘money politics’, karena menerima bantuan tersebut tidak pada tempatnya. Dan secara tidak langsung hal itu akan mempengaruhi integritas kiai itu sendiri. Sungguh, kiai dan pesantrennya sangat rentan terhadap ‘money politics’ semacam itu.
Dalam kondisi ekonomi yang tak menentu ini sangat memungkinkan kiai dan pesantrennya tergoda. Apalagi pesantren-pesantren tradisional, yang amat sangat membutuhkan bantuan untuk pembangunan infrastruktur pesantren. Secara gampangnya, karena krisis ekonomi para kiai diberi bantuan, dengan tujuan mendukung pihak tertentu dalam pilkada.
Rakyat Indonesia yang mayoritasnya memeluk agama Islam, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga keislaman seperti pesantren-pesantren mempunyai peran yang besar dalam terlaksananya pilkada yang jujur dan adil. Bahkan di dalam pemilihan kepala daerah pun hampir dipastikan kebanyakan adalah orang Islam.
Oleh karenanya, jangan sampai umat Islam yang terkotak-kotak ini diprovokasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak senang kepada Islam. Maka yang menjadl korban adalah jamaah atau orang-orang Islam sendiri. Dan bila ini terjadi sungguh merupakan kerugian besar.