Site iconSite icon pulipuli.id

KOTAK KOSONG DAN KEMUDURAN DEMOKRASI

Gambar: Google.com

Disadari atau tidak sesungguhnya kita sedang mengalami kemunduran bahkan matinya demokrasi secara perlahan-lahan. Salah satu hal yang akan membawa demokrasi mati perlahan-lahan adalah munculnya fenomena Calon tunggal melawan kotak kosong dalam pilkada.

Fenomena kotak kosong yang terjadi di PILKADA Kabupaten Pasangkayu ini ialah suatu hal yang baru dan sangat mengejutkan masyarakat, serta memicu perdebatan tentang dampaknya terhadap demokrasi.

Fenomena kotak kosong ini sebenarnya telah mencederai amanat perjuangan reformasi. Pasalnya demokrasi merupakan perjuangan panjang amanat reformasi, demokrasi yang telah diperjuangkan dengan biaya mahal dan bahkan mengorbankan nyawa para aktivis kini terancam dimanipulasi oleh para elit politik dengan memborong seluruh partai politik dengan dalih koalisi.

Selain itu fenomena kotak kosong ini memperlihatkan keterbatasan dan lemahnya kaderisasi partai politik. Sehingga tidak mampu mempersiapkan kader-kader yang berkualitas untuk maju berkontestasi dan bersaing dalam pilkada.

Partai politik sebelumnya diharapkan mampu melahirkan sosok pemimpin yang berkualitas, kini sedikit demi sedikit berubah menjadi permainan kekuasaan yang kental dengan pragmatisme demi mencapai tujuan kemenangan.

Dan fenomena ini tidak hanya mencerminkan demokrasi yang tidak sehat tetapi juga kegagalan institusi politik dalam menjalankan fungsinya, sebab untuk mencapai tujuan Peace, Justice, and Strong Institutions, diperlukan partai politik yang mampu menjalankan fungsi seleksi dan kaderisasi dengan baik, membangun kepercayaan dengan masyarakat, serta merumuskan kebijakan yang relevan dan visioner.

Demokrasi yang sehat tentu membutuhkan partai politik yang bertanggung jawab serta melibatkan masyarakat secara aktif, dan proses yang transparan.

Trend kotak kosong dalam pilkada ini tentu sangat berdampak dan mengurangi kualitas demokrasi itu sendiri. Dan sesungguhnya yang dirugikan oleh fenomena kotak kosong ini adalah masyarakat. Bagi politikus, jabatan adalah sumber kekuasaan dan peluang memupuk kapital. Padahal, bagi masyarakat pemimpin yang dipilih karena kualitas dan integritasnya mutlak diperlukan karena mereka yang akan mengelola sumber daya untuk memenuhi hak-haknya.

Dalam demokrasi substantif, masyarakat bukanlah obyek melainkan adalah subyek. Demokrasi adalah proses masyarakat dalam mengambil keputusan, dan bukan hasil pilkada yang dijadikan ukuran melainkan prosesnya. Apakah prosesnya Bermakna bagi masyarakat sehingga pemimpin yang terpilih dapat memenuhi hak mereka.

Dan Pilkada kali ini tidak akan ada perdebatan ide dan gagasan bagi setiap kandidat, sehingga tidak ada bahan pembanding bagi masyarakat kandidat mana yg lebih relevan dan mampu merepresikan suara dan mewujudkan kepentingannya.

Oleh: Khalil Jibran (Penulis adalah aktivis PMII Pasangkayu)

Exit mobile version