MAHA GURU DARI INDONESIA TIMUR

Foto : MUI Sulsel

Jika KH Bisri Mustofa di Jawa menulis Al-/briz, tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa, maka ulama Bugis Anre Gurutta H. Daud Ismail melahirkan Tafsir Al-Munir, Tapsere Akorang Mabbasa Ogi alias Tafsir Al-Qur’an Berbahasa Bugis. Karya ini dimaksudkan oleh pengarangnya agar masyarakat Bugis, yang dikenal kental agamanya, memiliki kemudahan untuk memahami kitab suci mereka.

A.G. Daud Ismail adalah ulama kharismatis, salah seorang pendiri Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) bersama A.G.H. Abdurrahman Ambo Dalle dan A.G.H. Muhammad Abduh Pabbaja, serta ulama-ulama Sulawesi Selatan lainnya. Ia lahir di Cenrana, Lalabata, Soppeng, 30 Desember 1908 dari pasangan H. Ismail bin Baco Poso dan Hj. Pompol binti La Talibbe. Kedua orang tuanya adalah tokoh masyarakat Soppeng. Ayahnya dikenal sebagai Katte Mail (Khatib Ismail).

Daud menimba ilmu pada banyak guru, namun dalam mengenal aksara Lontara dan huruf Latin ia belajar secara otodidak. Antara tahun 1925-1929, Daud belajar qawaid pada Haji Daeng. Pada saat yang sama, ia belajar kepada Qadhi Soppeng Riaja, H. Kittab. Ia juga belajar di Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) pimpinan Anre Gurutta Haji Muhammad As’ad di Sengkang. Selama belajar di Sengkang, dia banyak menguasai kunci ilmu-ilmu agama seperti qawaid, ‘arudh, ushul fiqh, mantiq, dan lain-lain. Hal ini tidak terlepas dari metode mengajar yang diterapkan oleh Anre Gurutta H.M. As’ad.

Salah satu metode A.G. As`ad dalam mendidik santri-santrinya adalah dengan memilih sejumlah santri pilihan untuk diajak belajar semalaman, khususnya untuk ilmu ‘arudh, tanpa buku pegangan. Keesokan harinya, para santri tersebut telah mampu menerapkannya dalam menelaah kitab kuning. Padahal ‘arudh termasuk salah satu cabang ilmu yang paling sukar dipelajari di dunia pesantren.

Setelah belajar langsung kepada A.G. As’ad di Sengkang. Daud Ismail dipercaya untuk mengajar di madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah. Sejak saat itulah. ia dipanggil Gurttta, yaitu panggilan kehormatan di bawah Anre Gurutta. Bersama Daud Ismail pula A.G. As`ad membentuk tim pengajaran dengan metode yang mengharuskan santri junior belajar di bawah bimbingan santri senior.

Tahun 1942, ketika pecah Perang Dunia I, merupakan masa sulit bagi Daud Ismail. Kondisi tersebut membuatnya terpaksa meninggalkan Sengkang untuk kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Salah satu cobaan berat A.G. Daud Ismail adalah kepergian istrinya ke alam baka.

Dari tahun 1942 sampai 1943 Daud mengajar di Al-Madrasatul Amiriyah Watang, Soppeng, menggantikan Sayid Masse. Waktu itu Daud diangkat menjadi Imam Besar (Imam Lompo). Daud memutuskan untuk meninggalkan perguruan tersebut, karena dibatasi gerakannya oleh Dai Nipon dan adanya latihan menjadi tentara Jepang (PETA).

Daud juga pernah menjadi guru pribadi bagi keluarga Datu Pattojo, tepatnya pada tahun 1944. Karena diakui sebagai seorang ulama yang berilmu luas dan mendalam, Daud diangkat sebagai qadhi (hakim) di Kabupaten Soppeng (1947). Jabatan ini dia pegang hingga tahun 1951-1953, Daud menjabat sebagai pegawai di bidang kepenghuluan pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bone. Sejak saat itulah Daud telah mulai disapa Anre Gurutta.

Anre Gurutta adalah gelar kehormatan yag diberika masyarakat kepada ulama di Sulawesi Selatan, atas ketinggian ilmu, pengabdian dan jasanya dalam dakwah. Dalam tradisi masyarakat Bugis, gelar Anre Gurutta dapat diibaratkan dengan Profesor atau Guru Besar di dunia akademik. Karena itu ulama yang menyandang Anre Gurutta mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat Bugis.

Sepeninggal A.G. As’ad (1952 M), Daud Ismail diminta oleh para pemuka masyarakat Wajo dan sesepuh MAI untuk datang ke Sengkang melanjutkan pembinaan madrasah yang ditinggalkan oleh A.G. As`ad. Pada 1953 nama MAI diubah menjadi Madrasah As’adiyah sebagai penghormatan dan penghargaan kepada A.G. As’ad.

A.G. As’ad berwasiat, bahwa Daud harus kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI. Meskipun dengan resiko harus meninggalkan status pegawai negerinya, Daud tetap memenuhi wasiat gurunya tersebut. Namun, Daud hanya menetap dan memimpin MAI Sengkang selama delapan tahun karena adanya desakan dari Soppeng agar Daud kembali membina madrasah di daerahnya. Apalagi saat itu di Sengkang sudah ada kader-kader ulama yang dapat menggantikan Daud.

Pada tahun 1961, Daud kembali ke Soppeng. la mendirikan sekaligus mengetuai Yayasan Perguruan Islam Beowe (Yasrib) dan membuka Madrasah Muallimin pada tahun 1967. Pada masa ini Daud juga diangkat kembali menjadi qadhi untuk kedua kalinya di Soppeng. Pada tahun 1993-2005 A.G. Daud Ismail menjadi Ketua MUI Kabupaten Soppeng. Ia wafat pada 2006 dalam usia 98 tahun.

Oleh : A. Suryana Sudrajat (Wartawan Senior)