Saya pernah membaca teka-teki seperti ini:
Seorang remaja pria dan ayahnya, ditawan oleh teroris saat makan siang di restoran, bersama pengunjung restoran yang lain. Ayahnya seorang ilmuwan biologi terkemuka, sedang meneliti virus tertentu yang potensial sebagai senjata biologis. Teroris ingin menguasai penelitian ilmuwan tersebut. Satu regu pasukan anti teror ditugaskan untuk segera melumpuhkan teroris dan membebaskan sandera. Setelah baku tembak seru, si anak yang terluka tapi selamat, ditemukan terkapar di samping jenazah ayahnya. Pasukan antiteror tadi bergegas menyelamatkannya. Anehnya, komandan regu antiteror tadi, ketika melihat si anak, langsung memeluknya dan berseru,”Anakku!”
Bagaimana itu mungkin?
………………………………………………………………
Jawabannya mudah: komandan tadi adalah ibunya.
Sebagian besar yang membaca teka-teki ini tidak bisa segera menjawab dengan benar. Karena di kebanyakan benak orang telah terkonstruksi bahwa ada hal-hal yang tidak mungkin bagi perempuan, atau perempuan punya kualitas yang lebih rendah dari laki-laki untuk hal-hal tersebut. Militer, misalnya. Dokter bedah. Direktur utama perusahaan besar. Kita bisa menyebut berbagai profesi lain di mana perempuan dianggap kurang kompeten. Bahkan acap kali dalam hal intelektual sekalipun, perempuan dianggap inferior dibanding laki-laki.
Apa kita pernah melihat (atau mengalami sendiri), pendapat seorang perempuan diremehkan atau diabaikan hanya karena itu berasal dari perempuan?
Atau, dalam pembicaraan, seorang pria dengan mudah memotong pembicara wanita karena dianggap tidak relevan? Atau mungkin anda pernah melihat atau mengalami sendiri (baik di posisi pria maupun wanitanya), ada pria yang dengan gaya menggurui – sekaligus merendahkan – menjelaskan sesuatu hal kepada seorang wanita, tanpa menyadari bahwa lawan bicaranya jauh lebih paham topik pembicaraan?
Mari kita belajar satu istilah: MANSPLAINING.
Asal katanya adalah ‘man’ (laki-laki), dan ‘splain’ (dari kata explain/ menjelaskan).
Kata ‘splain’ ini sudah lebih dari 2 abad digunakan, meski mungkin baru bagi sebagian dari kita. Sementara, ‘mansplaining’ adalah term yang relatif baru, dan jauh lebih asing lagi untuk kita.
Rebecca Solnit adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah ini, dalam essay-nya di tahun 2008 “Men Explain Things To Me: Facts Didn’t Get In Their Way”.
Solnit menggambarkannya sebagai kombinasi dari ‘percaya diri yang berlebihan dan ketidaktahuan’ dalam diri laki-laki. Ini disebabkan konstruksi sosio-kultural yang menempatkan laki-laki dalam posisi superior dibanding perempuan. Laki-laki dianggap ‘jauh lebih tahu’ dibanding perempuan, sehingga acap kali laki-laki dengan segala ‘percaya diri dan pengetahuannya’ memberi komentar pada perempuan yang jadi lawan bicaranya tanpa diminta, atau dengan seenaknya memotong pembicaraan si perempuan.
Kalau anda sering menonton talkshow di televisi, apapun topiknya, perhatikan baik-baik ketika host-nya laki-laki dan tamunya perempuan, atau ketika ada diskusi hangat antara tamu acara yang laki-laki dan yang perempuan. Anda akan dengan mudah melihat bagaimana ‘mansplaining’ ini terjadi. Itu bisa menjadi gambaran yang bagus, bahwa ‘mansplaining’ bukan sesuatu yang aneh di masyarakat, di kalangan mana pun. Konstruksi sosio-kultural superioritas laki-laki atas perempuan memang telah berurat-akar di berbagai kultur, dan usianya mungkin setua usia peradaban.
Hal ini sebenarnya berbahaya. Mansplaining berasal dari pemahaman bias gender bahwa perempuan tidak kompeten dibanding laki-laki dalam bidang pengetahuan dan tidak lebih cakap dari laki-laki dalam menguasai sesuatu hal. Bukankah kita sering mendengar ungkapan bahwa pada perempuan emosi dan akalnya ada pada proporsi 9:1, sementara pada laki-laki perbandingannya terbalik? Bahkan perempuan pun acap kali percaya, bahwa memang laki-laki lebih kompeten dibanding dirinya untuk hal yang sebenarnya dikuasainya dengan baik!
Janganlah heran, bahwa akhirnya kita menjumpai laki-laki memberikan penjelasan tentang sesuatu hal kepada perempuan (yang sebenarnya lebih tahu) hanya karena dirinya laki-laki. Sementara sebenarnya hanya merupakan kombinasi dari ‘kepercayaan diri yang berlebihan plus ketidaktahuan’ tadi. Sementara perempuan terpaksa mendengarkan meski sebenarnya lebih tahu, tapi tidak percaya diri.
Maka, kita pun mendapatkan pemimpin laki-laki meski tidak cakap, alih-alih perempuan yang punya potensi lebih baik. Karena kita lebih yakin pada laki-laki, hanya karena jenis kelaminnya. Kita sama sekali lupa, bahwa otak letaknya di kepala, bukan di alat kelamin, dan bentuk kepala serta volume otak laki-laki dan perempuan itu sama, sehingga potensi kualitasnya pun sama.
Bias gender yang terkonstruksi dalam perilaku mansplaining ini bisa berdampak luas. Pembatasan karir perempuan, pembatasan ruang gerak perempuan, pembatasan peran sosial perempuan, dan pembatasan-pembatasan lainnya – kita bisa menyebutnya satu per satu. Pada akhirnya, perempuan tetap terkonstruksi sebagai makhluk kelas dua.
Kita pun bisa mengenyahkan posisi bias gender ini, dengan memulainya dari menyadari dan menghindari ‘mansplaining.’ Belajar mendengarkan perempuan. Mulai memahami bahwa laki-laki dan perempuan punya potensi akal yang sama. Berani menempatkan perempuan pada posisi sosial yang setara dengan laki-laki. Tidak mengkombinasikan percaya diri berlebihan dan ketidaktahuan dalam satu mulut, hanya karena ‘keunggulan’ gender yang semu itu.
Merubah pandangan yang sudah berabad-abad usianya dan mengakar dalam berbagai segi kehidupan memang sepertinya susah. Tapi bukannya tidak bisa. Kita hanya butuh memulainya. Menurut mendiang Mgr Oscar Romero, sesuatu tidak berjalan hanya karena dua hal: tidak mau, atau tidak bisa. Pasti bisa mengenyahkan ‘mansplaining’ dan dampak ikutannya. Tinggal apakah kita mau atau tidak.
Itu saja.