Dia makin beken. Orang pun sering menyebut-nyebut namanya. Sebabnya sekitar tiga minggu yang lalu kisah hidupnya disiarkan di TVRI Sulbar juga konten Youtube seseorang.
Sejak muncul pertama kali beritanya langsung viral kemana-mana. Temannya, gurunya, dosennya sampai kyainya nimbrung membagi berita itu.
Dulu orang cuek saja.
Setiap keluar berjualan kue ke warung, rumah warga, anjungan Pantai Vovasanggayu, atau di perkantoran pemerintah orang tak peduli padanya. Kini berbeda, orang akan ramai memanggil namanya, menawar dagangannya atau sekedar mengajak bercanda ketika bertemu.
Tak jarang setiap pulang dia membawa ikan dan buah-buahan. Entah barang itu di dapat dari mana. Kalau ditanya dia cuma bilang dari malaikat. Menurut sahabat dekatnya dia memang dikenal memiliki pribadi yang luwes. Mungkin karena sikap itu banyak “malaikat” yang simpatik padanya.
Dia memang spesial. Punya banyak kelebihan. Kelebihan utamanya adalah motivasi kuat untuk maju dan pantang menyerah. Apa pun yang dia cita-citakan harus dia raih. Walaupun harus lewat perjuangan dan kerja keras.
“Selain itu, saya juga memiliki kelebihan lain.”
“Kelebihan berat badan.” Katanya tanpa malu-malu.
Bodynya memang berlebih. Bobotnya pernah menyentuh angka fantastis 100 kilogram padahal tingginya cuma 130 sentimeter. “Bobot yang sangat tidak ideal untuk ukuran cowok idaman para gadis.” Dia tertawa.
Namun tampilan fisik yang dimiliki itu bukan kekurangan baginya sehingga membuatnya minder. Malah sebaliknya dia bersyukur karena dengan begini orang akan mudah mengenalinya. Juga mengingatnya.
“Coba cari di sekitar Kota Pasangkayu mana ada yang seperti saya. Saya ini unik. Makhluk langka. Jadi perlu dijaga, dirawat dan dilestarikan. Hahaha..” Dia tertawa lagi.
Itulah Syahrul hidayat, orang yang sedari tadi kita sebut “dia’’ dalam tulisan ini. Begitu namanya yang tertulis dalam ijazah.
Syahrul adalah anak kedua pasangan Darwis dan Sitti Rahmah yang lahir 23 tahun yang lalu di ereng-ereng Bantaeng. Lalu dibawah hijrah dan dibesarkan di Towoni.
Towoni adalah sebuah desa terpencil di tengah perkebunan sawit, di Kecamatan Baras. Sekitar tujuh puluh Sembilan kilometer dari Kota Pasangkayu.
Untuk sampai kesana lumayan berat. Akses jalan utama rusak. Kalau musim hujan seperti sekarang penuh dengan kubangan air. Sementara kalau musim kemarau meninggalkan jejak lobang disana-sini sehingga jalan terasa bergelombang bila dilewati.
Mayoritas penduduk Towoni berprofesi sebagai petani. Meskit bertani sawit tak semua masyarakatnya sejahtera. Sebagian warganya cuma buruh tani bukan pemilik kebun.
Masa kecil Syahrul dihabiskan di Nurul Jadid sebuah Pondok Pesantren di Desa Saptanajaya Kecamatan Doripoku. Desa tak jauh dari kampungnya. Kalau mau ke pondok harus melewati jalan setapak dipinggir hutan dan menyusuri perkebunan sawit.
Walaupun bisa pulang ke rumah bersama santri-santri lain yang sekampung, Syahrul lebih memilih tinggal di pondok. Dengan tinggal di pondok banyak hal yang bisa diperoleh.
Di pondok itulah, Syahrul menempa diri.
Bimbingan dan pelajaran yang diperoleh dari Kyai Zainullah pimpinan pondok sangat membekas dalam hidupnya. Di pondok dia melatih mentalnya untuk mandiri dan qanaah. Sikap yang tak kan pernah dia miliki andai tinggal bersama orang tua.
Lepas dari pondok Syahrul mencoba mengabdi. Dia memilih keluar dari tanah kelahirannya. Sidrap, kampung kelahiran bapaknya adalah pilihan pertama.
Di salah satu masjid di Kota Sidrap, Al-Ikhlas namanya dia mengajar mengaji sekalian nyambi menjadi marbot. Dari situ dia dapat honor yang lumayan. Pekerjaan itu dilakoni selama hampir dua tahun sampai kemudian dipanggil pulang ke Towoni.
Di Towoni tanpa aktivitas, Syahrul jadi bosan. Pingin balik ke Sidrap dia malu karena sudah pamit tak kan balik lagi. Padahal jamaah disana sudah berusaha menahan Syahrul agar tak pulang dengan beragam bujukan termasuk iming-iming akan menambah honornya. Mereka menyayangi Syahrul karena rajin dan disiplin. Tapi Itu dulu ketika belum pamit. Kini dengar-dengar di Masjid tempat dulu dia mengabdi posisinya sudah digantikan orang lain.
Melihat kakak dan teman-teman seangkatannya kuliah, Syahrul pun pingin kuliah.
Alhasil disampaikanlah keinginannya ke bapaknya. Namun jawaban yang dibutuhkan tak langsung diterima. Yang ditanya cuma diam tak memberi respon.
Didiamkan begitu Syahrul tentu penasaran, namun tak memaksa. Sekali dua tak ada jawaban, Syahrul masih toleransi namun pas yang ketiga mulai tak sabar. Dia ingat peribahasa “Banyak jalan menuju Roma”, selalu ada beragam cara memenuhi hasrat. dia merubah strategi. Gagal di bapak. Dia mendekat ke ibu. Dari ibu dia dapat jawabannya.
“Persoalan klasik, masalah dana.” Kata ummi (begitu Syahrul memanggil ibunya).
Dua adiknya sekolah. Sementara kakak dan ummi kuliah. Sama-sama di perguruan tinggi yang sama, Universitas Terbuka. Ummi memang harus kuliah karena dia guru SD namun belum sertifikasi. Untuk meraih sertifikasi harus sarjana dulu, begitu aturannya.
Dari Ummilah, Syahrul dapat kabar baik kalau dia bisa kuliah kalau ummi sudah selesai jadi harus bersabar dulu. Syahrul berbesar hati menerima. Tak pernah tanya-tanya lagi.
Waktu berjalan. Tugas kuliah menumpuk. Perjalanan yang melelahkan. Begitu terus. Ummi drop dan kelelahan. Ia jatuh sakit. Beberapa waktu lamanya rumah sakit jadi langganan. Sembuh keluar. Sakit masuk lagi. Namun aktivitas kuliah tetap jalan. Sampai suatu ketika dia betul-betul terkapar dan tak kuat lagi. Oleh dokter dia divonis harus cuci darah. Keluarga pun terpukul.
Demi kesembuhannya, ummi istirahat kuliah. Kakaknya juga cuti. Semua biaya kuliah dialihkan untuk biaya pengobatan. Bahkan biaya hidup sehari-hari pun turut diikhlaskan. Beberapa kali ummi dibawah ke Palu bahkan ke Makassar namun bukannya sembuh penyakitnya malah kian parah.
Hingga suatu malam dari Rumah Sakit Wahidin di Makassar Syahrul menerima kabar dari kakaknya kalau ummi telah berpulang dan akan dikebumikan di Bantaeng. Jarak Makassar ke Pasangkayu 5 kali lipat jauhnya dari jarak Makassar ke Bantaeng sehingga keluarga sepakat membawa pulang ummi ke tanah kelahirannya. Syahrul tak berdaya hancur luluh perasaannya karena tak bisa melihat ummi terakhir kali sebelum dikebumikan.
Kepergiaan ummi memberi pukulan telak. Seharian dia cuma berdiam diri seperti orang bisu. Waktunya lebih banyak termenung. Itu berlangsung beberapa saat lamanya. Rupanya perubahan sikap Syahrul jadi perhatian bapaknya.
Prihatin dengan sikap putranya akhirnya Pak Darwis mengizinkan Syahrul kuliah. Namun harus tahu diri, kuliah dengan segala keterbatasan.
Syahrul akhirnya mendaftar dan lolos jadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah DDI Pasangkayu.
Awalnya dia memilih menetap di masjid kampus agar bisa irit dan bantu bersih-bersih. Namun karena banyak tugas kuliah yang harus diselesaikan dengan komputer akhirnya Syahrul memilih menetap di Sekretariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), disitu ada teman yang punya komputer dan para penghuninya sangat bersahabat.
Banyak keuntungan yang di dapat ketika mukim disitu, selain kenalannya bertambah, relasinya dengan mahasiswa diluar kampusnya makin luas. Selain itu dia juga bisa belajar banyak karena sering ada diskusi. Sementara kalau malam Jum’at rutin diadakan Yasinan dan Tahlilan. Syahrul senang bisa selalu mengirimkan doa pada umminya
Lepas subuh setiap hari dia mulai menjajakan kue. Siangnya menggoreng krupuk. Bila tak habis, jajanan itu dibawah ke kampus.
Pernah suatu waktu dia ditanya teman kuliahnya, “Apa tidak malu berjualan kue keliling?” Dia menjawab, “Malu adalah kata yang sudah saya hapus dalam kamus hidupku”.
Di tengah keterbatasan yang dirasakan sekarang Syahrul tak mau menyerah. Hidup harus jalan terus. “Rasa malu cuma akan membuat kita lemah. Dan bila kita takluk olehnya, kita takkan pernah mendapat apa-apa ”.