Maulid Nabi: Memerangi Orang Kristen?

Gambar: Liputan6.com

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menurut sejarahnya dimulai di masa pemerintahan Salahuddin Al Ayyubi. Penguasa dari Dinasti Mamalik itu harus memobilisasikan kekuatan massa kaum muslimin melawan orang Kristen dalam Perang Salib. Salahuddin dikenal di barat dengan nama Saladin menggunakan peristiwa Maulid Nabi sebagai salah satu senjata ampuh untuk menggelorakan semangat kaum muslimin.

Karenanya, tidak heran jika acara tersebut ada yang menolaknya. Tidak ada dasar keagamaannya sama sekali, baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi sendiri. Memang sulit diterima kalau ada dasar baginya, yang berupa sunnah itu. Bagaimana mungkin Nabi menyuruh orang memperingati hari kelahirannya sendiri? Tidak masuk akal, bagi manusia sempurna (al-insan al-kamil) yang disebut Allah sebagai ‘berakhlak Agung’ (innaka la’ ala khuluqin ‘adzim) seperti beliau.

Namun, ternyata besar sekali peranan kegiatan yang satu ini. Di masa Perang Salib yang menjadi alat penggerak massa. Setelah usai perang yang lamanya 90 tahun itu, ia menjadi alat perekat kultural yang ampuh, bagi komunitas muslimin di manapun di seluruh dunia. Ia bahkan menjadi wahana ekspresi kerohanian yang tinggi nilainya.

Di negeri kita tidak terkecuali. Ode Al-Dziba’i dan sejenisnya, dikenal dengan nama genre Rawi atau riwayat, dilagukan dengan iringan rebana dalam tata cara syahdu. Diikuti dengan ceramah agama dan terakhir makan bersama, Maulid Nabi sudah menjadi upacara standar di kawasan nusantara.

Sebenarnya dalam konteks ini ia masih berfungsi sebagai perlawanan juga, seperti di zaman Salahudin Al Ayyubi. Bukan melawan pihak Kristen, karena kita sudah berada di negeri yang diatur dengan Undang-Undang Dasar 1945, dengan hak yang sama bagi semua agama di muka undang-undang. Yang dilawan adalah serangan baru yang lebih dahsyat: materialisme hedonisme antroposentrisme dan sebagainya.

Terpulang kepada umat saja, akan menggunakan Peringatan Maulid Nabi untuk tujuan itu, atau hanya untuk sekedar baca Rawi dan makan-makan bersama belaka.

Penulis: K.H. Abdurrahman Wahid (Mantan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU dan Presiden RI ke-4)

Sumber: Harian Pelita