Setiap masa sulit dalam kehidupan masyarakat, selalu melahirkan tokoh yang mampu “survive”, mandiri, dan selalu menemukan ide baru untuk bertahan dan berhasil keluar dari kesulitan. Salah satunya seseorang bernama Markum. Diceritakan ketika Markum duduk di sebuah SMP di kota Surabaya tahun 1943 masa pendudukan Jepang, situasi ekonomi pada masa itu teramat sulit. Namun Markum tak putus asa dan memutuskan tidak bergantung orang tuanya lagi. Teman-temannya yang lain banyak yang mengeluh masalah keuangan. Namun Markum selalu terlihat segar bugar dan tak pernah mengeluh. Di masa itu setiap anak kena giliran “kinrohosi” atau kerja paksa untuk mendapatkan uang seketip (sepuluh sen) demi dapat mentraktir teman-teman uang seketip (sepeluh sen)
Suatu ketika teman yang kena giliran Kinrohosi bersama Markun, ada kesempatan untuk mengetahui keseharian Si Markum. Dari kebersamaannya dengan Markum, ternyata Markum ini anak seorang upas (pesuruh), yang tak mungkin mampu menyekolahkan anaknya sampai SMP di masa itu. Kediaman keluarga Markum berada di Porong, 34 kilometer dari Surabaya, jarak yang tiap hari dilalui oleh Markum dengan naik kereta api. Setiap jam 4 pagi Markum sudah berangkat ke stasiun, terlebih dahulu singgah di tukang kue. Ia membeli 50 butir kue onde-onde. Kemudian kue tersebut dititipkan ke Mbok Bon yang berjualan di halaman belakang sekolah. Onde-Onde yang ia beli 5 sen perbutir, kemudian ia jual lagi seharga 8 sen. Ketika ia membeli 50 biji onde-onde, setiap sepuluh onde-onde, ia mendapat 1 onde-onde gratis yang disebut welasan. Markum selalu mendapat 5 onde-onde welasan, yang ia jual lagi ke Mbok Bon seharga 40 sen. Uang inilah yang dipakai mentraktir teman-temannya. Jadi labanya tak terganggu.
Ketika perang kemerdekaan, Markum dan keluarganya meninggalkan Porong dan pulang ke kampungnya di Kediri. Kembali Markum jeli melihat “lubang jarum” untuk sumber rezeki. Saat itu tentara Indonesia (belum jadi TNI) memerlukan seragam. Dan belum ada bahan pakaian yang berwarna, cuma adanya bahan blacu, yang diperoleh dari hasil barter antara RI dan India yang sedang rawan pangan. Blacu (putih) harus dicelup supaya dapat dijadikan pakaian seragam militer.
Belajar dari proses mencelup dari seorang pembatik, Markum mencelup kain blacu dengan warna hijau dari kulit pohon mangga, warna hitam dari sejenis tanaman tom dan coklat dari kulit kayu mahoni. Kala itu bahan celup kimia sulit didapat. Dengan menjadi pemasok bahan pakaian untuk tentara, Markum dapat mempekerjakan 20 orang. Ia mengerjakan administrasi, mencari dan mengantar order dan mengontrol pekerja. Selain dari Kediri pesanan juga datang dari Yogyakarta yang saat itu masih menjadi ibu kota Republik.
Tiga tahun sesudah kedaulatan RI Sekitar tahun 1953 an, Markum pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studinya dengan kuliah di UGM. Fasilitas pemondokan amat minim di Yogya kala itu. Padahal dari segala penjuru Indonesia ada “wakil” orang muda di sana. Ramai-ramai penduduk membuat tempat indekos, pemondokan, asrama dan sejenisnya. Rumah Bung Markum dekat dengan UGM. Kembali Markum menangkap peluang. Ia juga menerima 12 pemuda kost, dengan harga lebih rendah dari tempat lainnya. Bahkan mereka mendapat makan tiga kali dan boleh menaruh cucian. Motifnya waktu itu, sambil memanfaatkan ruang kosong di rumah yang besar ia juga menolong para mahasiswa yang kesulitan ekonomi. Uang dari pondokan menjadi modal lagi untuk membeli beras setiap bulanan, selain untuk membeli mesin jahit eks Jepang seharga seribu rupiah dan sepeda Hercules eks Inggris Rp. 750. Uang laba juga diputar oleh istrinya yang untuk membuka usaha katering.
Dari bangku kuliah, Markum juga giat membuat catatan kuliah dengan baik. Bahan kuliah catatannya distensil dan dibuat diklat. Mahasiswa yang memerlukan boleh mengambil dan mengganti ongkos stensil saja.
Di tahun 60-an, ekonomi Indonesia mengalami kekacauan, inflasi hingga ratusan persen. Semua harga kebutuhan pokok pada melonjak naik. Para ibu kos dan asrama kesulitan untuk menyediakan makanan. Markum mengusahakan pembelian beras, gula dan minyak tanah dari instansi pemerintah dengan harga lebih murah. Bahan tersebut dijual kepada orang yang memerlukan dengan harga lebih rendah dari harga pasar. Para pelajar dan ibu-ibu pengurus pemondokan sangat terbantu dengan usaha Markum ini. Begitulah Markum, orang yang selalu punya akal, memanfaatkan peluang sambil membantu meringankan kesusahan orang lain.
Oleh : Soenardjo
Sumber: Mutiara Edisi 373, 21 Mei -3 Juni 1986 hal 19. Koleksi Surat Kabar Langka-Perpustakaan Nasional Salemba (SKALA-Team)