Hari kelahirannya selalu diperingati dengan meriah sebagai Hari emansipasi wanita. Dari anak Taman-Taman Kanak hingga Ibu-Ibu PKK sangat bersemangat merayakannya. Tak pernah absen karnaval sampai lomba memasak. Demikianlah setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini.
Siapa RA. Kartini (1878-1904)? Rasanya tak perlu saya perkenalkan. Namanya harum, dialah pendekar kaumnya. Salah seorang patriot pahlawan bangsa.
Namun belakangan kepahlawanan Kartini banyak dipertanyakan orang. Dia yang disebut sebagai pelopor emansipasi perempuan Indonesia dengan merintis sekolah perempuan di Rembang tahun 1903. Digugat.
Dunia mengenal Kartini sebagai “a feminist from Java” lewat korespondensinya dengan sahabat penanya di Eropa, salah satunya Rosa Abendanon, istri JH Abendanon, Menteri Kebudayaan Belanda yang saat itu berhaluan politik etis. Surat-suratnya diterbitkan tahun 1911 di Belanda dengan judul: Door Duisternis tot Licht (Dari Gelap Menuju Terang).
Masalahnya adalah hingga hari ini kita tak pernah disuguhi surat-surat asli Kartini yang diterbitkan itu, yang ada hanyalah dokumen yang disalin ulang dan diterbitkan. Hal ini menimbulkan kecurigaan terhadap Abendanon yang konon hingga kini juga misterius hidupnya. Kartini juga bersedia dijadikan istri ke-4 Bupati Rembang KR.M, Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, apakah menjadi istri ke-4 yang berarti membiarkan poligami sejalan dengan semangat emansipasi dan feminisme?
Ketika hidup Kartini sangat akrab dengan kalangan Belanda, sehingga beberapa kalangan menganggap dia “orang Belanda” ketimbang pribumi. Bukankah adagium kepahlawanan adalah yang berjuang melawan penjajahan? Sedang Kartini mungkin menikmati hidup di bawah alam penjajahan.
Dalam dunia pendidikan sejatinya RA Kartini bukanlah pelopor pendidikan untuk perempuan Indonesia. Dia bahkan tak pernah mendirikan sekolah formal. Sekolah Perempuan yang terinspirasi oleh ide Kartini secara resmi dibuka tahun 1912 oleh sebuah yayasan beberapa tahun setelah kematiannya.
Sebelum RA. Kartini ada Dewi Sartika, tokoh perempuan asal Jawa Barat, dia merintis pendidikan untuk perempuan sejak 1902 dan resmi membuka “Sakola Istri” tahun 1904 di Bandung. Karena kepeloporannya memajukan pendidikan di Bandung, Dewi Sartika mendapat bintang jasa pemerintah kolonial Belanda tahun 1929. Pembukaan sekolah perempuan ini atas inisiatifnya sendiri, yang didukung oleh suaminya yang juga pendidik, Raden Kanduruan Agah Suriawinata.
Kita juga mengenal pelopor pendidikan dan budaya lainnya. Siti Aisyah We Tenriolle, perempuan bugis yang jadi penguasa selama 55 tahun (1855-1910) di Kerajaan Tanete Sulawesi Selatan. Ia dipercaya mendirikan sekolah rakyat secara massal, untuk laki-laki dan perempuan, bangsawan dan jelata, sekitar 1890-an.
Sekolah yang didirikan Tenriolle kelak dikenal sebagai model awal Sekolah Rakyat (volkschool). Yang lebih mengesankan lagi, Tenriolle, bersama ibundanya Colliqpojie adalah tokoh dibalik penggalian epos La Galigo, mahakarya sastra bugis yang terpanjang di dunia.
Karena ketelatenannya menggali ulang wiracarita itu, kebudayaan Bugis dikenal hingga ke Eropa. Tenriolle tak pernah dilirik menjadi pahlawan, hanya karena semasa memerintah Tanete ia menganut politik kooperatif dengan Hindia Belanda, yang tentu tak jauh beda dengan Kartini.
Selain Dewi Sartika dan Tenriolle, bangsa-bangsa nusantara juga mengenal sosok perempuan pemberani lainnya, sebut misalnya Christina Marta Tiahahu (1800- 1817), yang tewas di usia 17 tahun saat bertempur melawan VOC di laut Banda.
Juga ada Cut Nyak Dhien (1848-1908), Cut Nyak Meutia (1870-1910) atau Nyai Ahmad Dahlan (1872-1946). Belum lagi beberapa nama perempuan yang terbenam di lintas sejarah bangsa ini, hanya karena tak begitu dekat dengan penguasa dan penulis sejarahnya.
Kelebihan Kartini memang ada dua yang membuat namanya ditoreh sebagai pahlawan pelopor pendidikan perempuan: pertama, ia ‘konon’ menuliskan idenya dalam bentuk surat-surat dan dibukukan oleh JH Abendanon, kedua, dia hidup di saat pemerintah kolonial Belanda menjalankan politik etis dan Kartini dijadikan contoh keberhasilan’ penjajah mendidik kaum pribumi.
Dua hal ini tidak dimiki secara penuh oleh Dewi Sartika dan We Tenriolle, apalagi sosok pemberontak macam Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dhien atau Cut Nyak Meutia.