Mengapa Orang Enggan Percaya Penegak Hukum?

Gambar : Geotimes

Adalah Boy seorang pengusaha muda yang baru saja membeli sebidang tanah melalui lelang dari KPKLN. Boy sangat percaya diri melakukannya karena berpikir bahwa kapan lagi dia bisa membeli aset dengan harga murah tetapi legal dan sah. Boy kemudian melakukan proses administrasi dan pembalikan nama pemilik tanah di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Semua prosedur dan proses adminitrasi serta biaya dipenuhi dan dilaksanakan dengan baik oleh ahcnong.

Sial bagi Boy, setelah membeli tanah tersebut, ternyata diatas tanah tersebut masih ada bangunan milik pemilik lama dan ada penghuni liar yang diperintah oleh pemilik tanah lama untuk menjaga dan mendiami tanah tersebut. Boy yang awalnya sangat senang karena membeli tanah dengan harga murah dan sah, kemudian menjadi pusing karena tidak dapat mempergunakan tanah tersebut sebagai pemilik sah.

Boy kemudian bertanya ke semua kenalannya dan dari kenalannya disarankan berbagai pendapat. Ada yang menyarankan agar Boy mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan (pasal 200 ayat (11) HIR dan pasal 218 ayat (2) RBG) dalam wilayah tempat tanah tersebut terletak, ada yang menyarankan agar Boy membuat laporan polisi (pasal 167 Kuh Pidana), dengan laporan penyerobotan sebagai pasal pidana yang digunakan, dan ada yang menyarankan kepada Boy agar menyewa preman dan melakukan pembokaran paksa bangunan dan mengusir orang yang berdiam diatas tanah yang telah dia beli.

Jika kita jadi Boy apa yang harus kita pilih sebagai jalan? Permohonan eksekusi akan lama dan butuh biaya, Lapor polisi akan butuh dana, Sewa preman akan jadi masalah baru.

Kasus sederhana diatas adalah gambaran betapa sulitnya mencari solusi kepastian hukum terhadap hak milik yang walaupun nyata diperoleh secara sah. Betapa masyarakat sangat sulit untuk melakukan tindakan patut agar menjamin haknya terlindungi.

Hukum adalah norma positif yang memiliki dua unsur penting dalam fungsinya yaitu, perangkat aturan dan pelaksana aturan. Pada umumnya perangkat aturan selalu memiliki kebenaran formal yang mengikat namun pada bagian pelaksana aturan terkadang justru bukan keadilan yang diperoleh, namun ketidakpastian yang terjadi.

Bukan hal baru jika orang sering berkata,”percuma lapor polisi, sebab meskipun kita benar dan dengan bukti kuat, tetap saja butuh uang agar polisi mau bekerja mengurusnya” atau kalau kita keluarkan dana, apakah iya ada jaminan jika lawan tidak akan ikut bermain dengan cara sama kepada penegak hukum?

Demikian juga pada proses peradilan, hal sama sering menjadi pembicaraan umum yang kemudian menjauhkan kepercayaan rakyat pada para penegak hukum. Hal demikian adalah kenyataan dari praktek penegakan hukum pada semua profesi penegak hukum (red: polisi, jaksa, pengacara dan bahkan hakim).

Lalu, pertanyaan kemudian mengemuka,” lalu untuk apa hukum?”

Hukum merupakan serangkaian peraturan yang bersifat mengikat dan memaksa. Jika tidak mematuhi atau melanggarnya, maka akan dikenai sanksi. Hukum dibuat untuk menciptakan kondisi lingkungan masyarakat yang tertib, aman dan nyaman. Hukum bersifat wajib untuk dipatuhi seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.

Menurut H. Ishaq dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2016), hukum berisikan serangkaian peraturan yang sifatnya umum serta normatif. Umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Ada empat unsur dalam hukum, yakni: Mengatur tingkah laku manusia Dibuat atau dibentuk oleh badan resmi yang berwenang Sifatnya memaksa Menimbulkan sanksi tegas bagi yang melanggarnya.

Kemudian menurut Lawrence M. Friedman, Hukum sebagai social control juga berarti memaksa warga masyarakat untuk mau berperilaku sesuai dengan hukum. Jika tidak mematuhinya atau melanggar, maka sanksi akan diberikan.

Hukum juga berfungsi untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan. Artinya hukum menjadi penengah bagi kedua belah pihak yang sedang berselisih. Tentunya dalam penyelesaian sengketa ini didasarkan pada ketentuan atau peraturan yang berlaku.

Sedangkan menurut Theo Huijibers, hukum berfungsi untuk memelihara kepentingan umum di masyarakat. Kepentingan ini menyangkut kepentingan orang banyak dan bukan hanya pada golongan atau individu tertentu saja. Karena hukum bersifat umum atau berlaku untuk semua orang.

Hukum berfungsi untuk menjaga hak manusia. Artinya hukum berperan dalam melindungi hak manusia. Contohnya perlindungan hak anak, hak pekerja, hak warga negara, dan lain-lain. Jika ada yang melanggar, maka sanksi tegas akan diberikan.

Jika demikan mengapa hukum justru dijauhkan oleh masyrakat sebagai upaya sah yang dijamin negara untuk melindungi dan membela kepentingan dan haknya?

Rasanya cukup mudah menjawab pertanyaan demikian. Watak korup masih menjadi budaya penegakan hukum, oleh sebabnya orang enggan percaya bahwa hukum adalah jawaban atas masalah yang dihadapi. Betapapun ketatnya aturan dibuat dan pengawasan dibentuk, namun sekali-kali jika watak korup ini masih menjadi kekuatan utama penegakan hukum, maka sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa masyarakat telah percaya pada hukum.

Lalu, apakah tidak ada pengawasan negara dalam proses penegakan hukum?

Tentu saja ada, ada lembaga Komisi Yudisial untuk mengawasi kerja hakim-hakim, ada Kompolnas untuk mengawasi kerja kepolisian dan bahkan pada semua lembaga profesi terdapat dewan etik yang berwenang melakukan pengawasan terhada para penegak hukum dimaksud.

Sungguhpun probem watak ini adalah problem klasik, namun sulit untuk dicarikan penyembuhnya jika secara sistemik dibudayakan sebagai kebiasaan.

Dalam beberapa studi sosial dikatakan bahwa, watak korup adalah watak turunan dari kekuasaan yang dibangun dan dijalankan dengan cara salah. Bawahan menjadi acuh dan korup karena atasannya demikian. Jika demikian, apakah sedemikian rusak kah kehidupan hukum kita? Orang selalu berandai bahwa dengan hukum semua terjamin secara tertib dan pada gilirannya orang menjadi patuh bukan karena takut pada hukuman yang diberikan, tetapi karena kesadaran yang dimilikinya.

Apakah para pencari keadilan harus menggunakan hukum alam (siapa kuat dia yang menang) dalam memperjuangkan haknya, ataukah dengan hukum negara, alasan orang merasa terlindungi dan terjamin haknya dapat terpenuhi, masih adalah pertanyaan.

Meski demikian, kita harusnya mulai mengembakan sikap percaya pada hukum dengan menjadi pengawas pada proses hukum yang kita alami atau kita saksikan. Pada gilirannya, kita akan melihat bahwa reaksi sosial melalui media sosial adalah cara konkrit yang paling dekat dengan pengawasan yang kita bisa lakukan. Meskipun pada saat bersamaan, ada delik pidana yang mengacam jika pengawasan dimaksud secara redaksi bisa dikawinkan dengan hukum negara.

Ketakutan kita akan lama dan lemahnya proses hukum yang disediakan Negara harusnya direspon oleh penegak hukum kita. Namun yang terjadi adalah, sebagai contoh, meskipun KPK terus menangkap pejabat negara yang terlibat Korupsi, terus saja ada dan berkelanjutan KPK menangkap pejabat yang korup. Apakah ini bukti jika watak korup yang jadi penghalang penegakan hukum kita adalah watak turunan dari jabatan yang lebih tinggi dari penegak aturan tingkat bawah? Saya sendiri yakin iya. Sebab, jika atasan tidak berperilaku demikian, maka bawahan pada level kecil akan enggan mempraktekkan hal demikian.

Tulisan ini menyarankan agar kita tidak berhenti percaya pada hukum dan proses yang disediakan negara, dan dengan membantu pengawasan maka kita setidaknya masih memiliki kesempatan untuk meyakini bahwa adanya hukum adalah jaminan bagi hak kita secara pasti. Laporkan, adukan, mohonkan, awasi dan hiduplah sebagai warga negara yang sadar paham dengan aturan dan mengerti hak-haknya dalam hidup bernegara hukum.

Aturan, lembaga dan penegak hukum akan menjadi baik jika kita juga tidak ikut dan memberi pupuk pada model korup. Sebab negara pada prinsipnya adalah organisasi yang hanya akan kuat jika seluruh rakyatnya terlibat secara baik, benar dan patuh pada cara-cara hidup bernegara.