Kampanye oleh kementrian Desa untuk mendorong produktivitas desa menekankan pada program yang dikenal dengan “Satu Desa Satu Produk (one village one product)”, tentu harus direspon baik.
Banyak macam produk yang bisa diproduksi, tergantung potensi yang dimiliki oleh desa tersebut. Semisal kawasan wisata, pendidikan, kebudayaan, dan atau hasil pertanian atau perikanan, pun termasuk potensi peternakannya. Paling tidak ini yang bisa disebut, meskipun belum sempat mewakili keseluruhan potensi yang dimiliki.
Di tempat berbeda, gagasan seperti ini kadang memunculkan pertanyaan untuk menggali sejauh mana produk bisa merubah wajah desa di Indonesia. Kurang lebih pertanyaannya begini.
Apa pentingnya desa memiliki produk? Bagaimana kita memulainya? Untuk apa produk itu? Manfaat apa yang bisa di peroleh?
Jika pertanyaan seperti ini muncul, tentunya harus ada jawaban yang logis agar produk unggulan bisa diproduksi.
Beragam sudut pandang atas jawaban pertanyaan diatas, tergantung siapa dan basis epistemologi berpikirnya seperti apa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Sebagai orang kampung, saya mencoba menjawabnya dengan narasi dari kampung. Di kampung atau desa merupakan basis utama produk di hasilkan. Seperti dikampung kami, produk utamanya ada hasil pertanian.
Tanamanya beragam, jangka panjang dan pendek. Jenisnya juga macam-macam, ada cengkeh, lada, kopi, karet, termasuk tanaman buah-buahan, durian, rambutan, langsat dan masih banyak lagi. Jangka pendeknya ada tanaman sayur-sayuran, tanaman herbal, padi dan jagung. Termasuk Porang yang lagi trend di budidaya sekarang.
Dari sekian banyak hasil pertanian tersebut, tak banyak dari produk itu yang diolah setelah panen. Tradisi pengolahan setelah panen belum menjadi kebiasaan dan tradisi masyarakat di kampung, yang ada setelah panen dijual ke pengepul atau pedagang kecil di desa.
Selama ini, pengelolaan atau manajemen dari hasil produksi pertanian di desa memang masih dominan dilakukan dengan pola lama. Yakni setelah panen langsung dijual, sehingga nilai produk tak memberi nilai lebih.
Kiranya sekarang, petani mesti merubah cara itu, pasca panen sangat penting menjadi bagian dari rantai produksi oleh petani dilakukan. Ya, membuat kemasan dan brand atas produk petani agar rantai produksi langsung dari petani sendiri, tak harus lagi diproduksi oleh kelompok usaha tertentu.
Dari sisi manfaat, pertama, petani telah terputus dari rantai produksi yang selama ini merugikannya, sebagai produsen utama, kedua memberi nilai lebih dari proses pengelolaan pasca panen. Bisa dari sisi ekonomi dan lainnya. Ketiga dengan memproduksi sendiri, petani telah membangun peradaban baru dalam dunianya.
Bagaimana petani mengolah pasca panen agar produknya unggul ?
Sekarang, Akses informasi tak begitu sulit seperti dulu, laju tehnologi komunikasi telah memudahkan kita begitupun dengan petani untuk mengakses informasi, beragam informasi berseliweran setiap detik di smartphone tentangga, anak atau petani sendiri. Cukup berkenalan dengan om google semua pertanyaan hampir bisa di jawab. Tentu ada pengecualian.
Lalu, di desa banyak sarjana muda yang baru saja lulus perguruan tinggi, paling tidak mereka sedikit memahami pengelolaan informasi dan update terhadap perkembangan teknologi masa sekarang, mestinya mereka dimanfaatkan dan dilibatkan agar memudahkan petani menyusun kerangka konsep dalam pengelolaan hasil produksi. Pemuda desa juga punya potensi itu meski tak sempat belajar perguruan tinggi.
Kini pasar terbuka lebar, kita tak mesti ke pasar untuk jualan atau menyewa toko di Mall untuk menjual produk, cukup menggunakan media sosial. Di posting lalu di share ke akun yang dimiliki. Tapi harus di ingat, produk petani tak boleh asal, harus standar dengan kualitas yang baik dan sehat.
Kata orang, Cina telah memulai, tiap desa telah memiliki produk yang di unggulkan, Indonesia kenapa tidak? Toh kita negara dengan potensi sumberdaya yang melimpah, ibarat pepatah tongkat dan batu saja bisa ditanam.