NARASI HEROIK SANTRI SARUNGAN

Foto : Google.com

Jika saat ini kita menikmati kemerdekaan, itu bukan sesuatu yang dulu mudah diraih. Sungguh suatu hasil perjuangan yang berangkai dan berantai dari para pejuang, umara, dan ulama. Juga tetes darah dan air mata para santri.

Namun sayangnya, kisah heroik mereka samar dalam sejarah. Padahal kaum sarungan itulah yang memerangi keserakahan para penjajah menggerogoti rakyat seperti lintah darat. Rakyat menjadi buruh di rumah sendiri.

Merekalah yang sudah mengangkat senjata bahkan saat negara ini belum memiliki angkatan bersenjata. Hanya bermodalkan semangat jihad untuk terjun ke medan perang. Hidup mulia atau mati syahid Allahu akbar!

Bung Karno suatu ketika pernah menerima tamu yang “aneh” di Istana Negara. Para tamu itu tidak mengenakan busana sopan seperti layaknya tamu lain ketika diterima seorang kepala negara. Mereka malah menggunakan sarung, bahkan hanya bersandal jepit!

Megawati Soekarnoputri kecil pun terheran-heran dan bertanya kepada ayahnya. Mengapa sang ayah yang seorang presiden membiarkan tamunya berpakaian seperti itu. Bung Karno menjawab, “Mereka adalah para ulama dan santri. Kalau tidak ada mereka sebagai garda terdepan yang berjuang untuk bangsa kita, mungkin sampai sekarang kita masih dijajah.”

Sang proklamator menjelaskan, dirinya banyak berdiskusi dan meminta masukan dari para ulama dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Para ulamalah yang memberinya petunjuk bagaimana membentuk suatu pemerintahan yang bisa mempersatukan semua elemen bangsa dan sesuai dengan syariat Islam. Karena itulah, seorang Bung Karno, tidak berani mengatur gaya berpakaian para ulama meski di dalam istananya sendiri.

Kisah panjang perjuangan kemerdekaan bangsa ini banyak sekali diisi nama-nama ulama besar Islam dan para santrinya. Namun rantai sejarah memang mengaburkan peran mereka. Belanda dan penjajah lainnya berkepentingan untuk menutupi kegigihan mereka demi melanggengkan kekuasaan. Orde Baru lebih mengedepankan peran militer. Jadilah kisah-kisah perjuangan para ulama dan santri itu makin tertelan zaman.

Jauh sebelum kebangkitan nasional yang ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo, ulama Islam sudah melakukanperlawanan dengan membentuk serikat dagang bernama Syarikat Dagang Islam (SDI). Yang kemudian menjadi Syarikat Islam (SI).

Ini adalah gerakan melawan keserakahan dan kesewenang-wenangan penjajah melalui kongsi dagang VOC. Yang dengan dalih bisnis, namun justru memonopoli bahkan melakukan kerja paksa kepada rakyat. Seperti lintah darat.

Menjelang kemerdekaan, para ulama Islam jugalah yang mengkonsep sila-sila dalam Pancasila. Yang kemudian menjadi dasar dari negara Republik Indonesia. Kelima sila yang saling berkelindan, yang mempersatukan Indonesia sebagai rumah bagi semua agama. Yang mempersatukan semua elemen bangsa. Sehingga persatuan itu berbuah kemerdekaan. Indonesia bukan lagi bangsa jajahan. Melainkan sebuah negara yang rakyatnya bebas menentukan nasibnya sendiri.

Setelah Indonesia merdeka, Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari yang mengobarkan semangat para santri untuk angkat senjata, mempertahankan kemerdekaan yang baru berusia dua bulan. Mempertahankan Kota Surabaya dari pasukan sekutu berbendera NICA yang diboncengi Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.

Perang besar yang kemudian menjadi pemantik simpati dunia internasional. Para santri sarungan bertempur dengan senjata seadanya. Bambu yang diruncingkan, batu, pisau, pedang, golok, juga senjata hasil rampasan.

Mereka sadar yang mereka lawan adalah pasukan bersenjata modern. Namun hal itu tidak membuat mereka gentar. Seruan jihad dari ulama yang mereka hormati, sudah cukup bagi mereka untuk bergerak. Mereka berdatangan ke Surabaya dari berbagai daerah di Jawa. Sebagian berjalan kaki, lengkap dengan peci dan pakaian seadanya. Ada yang bahkan bertelanjang kaki.

Para santri itu tergabung dalam laskar-laskar Islam, Laskar Hisbullah, Laskar Sabillilah, juga Laskar Mujahidin. Mereka turun ke medan peperangan bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Laskar dan TKR inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Bersama mereka menantang pasukan Inggris yang bersenjatan modern. Pada perang yang berlangsung sengit itu, ribuan santri gugur. Akhir hidup yang memang mereka pilih. Hidup mulia atau mati syahid. Merdeka atau mati.

Para santri juga yang berjuang dan banyak menjadi korban saat penumpasan pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Suatu gerakan yang ingin mengubah ideologi negara yang ber-Pancasila menjadi negara komunis. Suatu ideologi yang anti agama, dan menganggap agama adalah candu. Sebuah pengkhianatan yang kekejamannya menyentak dan membuat marah rakyat setanah air.

Bahkan juga disebutkan, satu syarat utama bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah kebersatuan elemen santri dan elemen nasionalis, faksi kebangsaan dan religiusitas.

Di banyak negara, kedua elemen ini seringkali sulit bersatu. Di Turki pertentangan kelompok sekuler nasionalis dengan islamis ibarat api dalam sekam, biasa tersulut sewaktu-waktu. Demokrasi di Mesir juga seringkali diwarnai ketegangan antara kelompok nasionalis
dan islamis.

Para bangsa penjajah, baik Portugis, Jepang, Belanda, maupun Sekutu, berkepentingan untuk memelihara konflik antara kalangan islamis dan nasionalis di Indonesia demi melanggengkan kekuasaan. Namun rakyat Indonesia beruntung memiliki tokoh- tokoh Islam yang berwawasan kebangsaan. Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari adalah figur pemimpin Islam yang menekankan pentingnya komitmen kebangsaan. Bahkan sejak Negara Indonesia masih belum berdiri.

KH Hasyim Asy’ari adalah pendiri Pesantren Tebu Ireng di Jombang, yang juga pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang berarti kebangkitan ulama. Ulama kharismatik inilah menekankan jika penjajahan adalah suatu bentuk ketidakadilan dan kezaliman. Dan perjuangan membela tanah air adalah bagian dari jihad fissabilillah.

Ijtihad inilah yang kemudian dikenal dalam sejarah dengan Resolusi Jihad. Sebuah bentuk komitmen para santri jika kebangsaan dan keimanan bukan dua hal yag terpisah. Namun suatu kesatuan sehingga membela negara dan rakyat sebangsa setanah air dari kedzaliman hukumnya wajib bagi umat yang beriman Islam. Meski harus berkorban tenaga, harta, bahkan nyawa.

“Terbenam” dalam Kajian Fiqih Namun sayangnya, berbagai kisah heroik para ulama dan santri dalam perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan nyaris tak terdengar dalam buku-buku sejarah.

Kurikulum pendidikan di masa Orde Baru lebih menekankan peran tentara dalam perjuangan kemerdekaan. Jika pun ada, itu sebatas di sekolah-sekolah berbasis pendidikan Islam. Selebihnya, kisah heroik para santri bagai terlupakan, dan`kini makin tertelan zaman.

Prof Ahmad Mansur Suryanegara, sejarawan dan guru besar sejarah Universitas Padjajaran dalam bukunya “Apì Sejarah” mengungkapkan, pengaburan sejarah terhadap peran santri dan ulama Islam di Indonesia ini memang sengaja dilakukan Belanda. Pasalnya, Belanda mendapat perlawanan yang paling keras dari umat Islam di tanah air. Sehingga wajar Belanda tidak ingin kegigihan para santri dan ulama Islam itu diketahui rakyat.

Pendidikan sejarah di sekolah, kata Ahmad Mansur Suryanegara, memiliki andil besar mengaburkan sejarah Islam di Indonesia. Buku-buku pelajaran sejarah banyak mengacu pada buku-buku sejarah yang sumbernya adalah sudut pandang Belanda. Dan peniadaan atau pengaburan sejarah peran Islam di Indonesia dalam perjuangan makin mudah terjadi, karena para ulama relatif membiarkan sejarah Islam Indonesia ditulis oleh penulis yang tidak

punya rasa hormat pada ulama atau agama Islam sendiri.

Penyebab lainnya, menurut Mansur, para ulama terlalu terbenam dalam mengkaji ilmu fikih atau hadis. Akibatnya, mereka pun tidak memperhatikan penulisan sejarah Islam Indonesia yang benar dan tepat.

Mansur menyebutkan, banyak pemikir Islam yang telah menuliskan naskah. Naskah-naskah mereka jelas telah dibiarkan untuk tidak diungkapkan uraiannya dalam sejarah Indonesia. “Sekeping Prasasti Hindu dibicarakan berlebihan, sehingga Hindu dan Buddha yang hanya dengan satu candi atau satu patung dinilai berpengaruh di nusantara,” ungkap Prof Ahmad Mansur seperti dilansir dalam Khazanah, Republika, 5 Oktober 2021.

Sebaliknya, lanjut Mansur, Islam dengan berjuta masjid dan naskah dinilai tidak memiliki pengaruh kuat dalam membentuk budaya dan peradaban bangsa Indonesia. Padahal, Mansur mengungkapkan, para santri selalu berperan aktif dalam setiap upaya perjuangan kemerdekaan.

Anggapan ketidakpedulian ulama terhadap penulisan sejarah juga pernah diungkapkan oleh Bung Karno. Di buku “Di Bawah Bendera Revolusi”, Sukarno menyebut para ulama tidak memiliki feeling terhadap sejarah. Jika pun ada, menurut Bung Karno, itu hanya membaca tarikh, hanya mengambil “abu” sejarahnya, tetapi tidak pernah menangkap api” sejarahnya.

Hal-hal itu secara berantai membuat peran santri, ulama, dan pemikir besar Indonesia jadi samar dan jarang dfketahui publik. Padahal rakyat sendiri merindukan kisah-kisah heroisme maupun keteladanan pada ulama besar itu.

Pada 2010, Hanung Bramantyo merilis sebuah film “Sang Pencerah”, yang menceritakan kehidupan ulama kharismatik KH. Ahmad Dahlan. Film ini menjadi yang tersukses sepanjang tahun itu.

Dan pada 2013, Rako Prijanto memproduksi film “Sang Kiai yang memvisualisasikan kisah Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asyari dan fatwa Resolusi Jihad beliau yang fenomenal. Film ini sukses di pasaran. Hal ini menunjukkan jika masyarakat Indonesia haus akan kisah-kisah pejuang Islam yang heroik.

Resolusi Jihad yang Fenomenal

Pasca kemerdekaan Indonesia, para ulama dan santri pun harus berhadapan dengan tantangan yang luar biasa. Meski teks proklamasi telah dibacakan oleh Proklamator Soekarno-Hatta, namun penjajah terutama Belanda tidak mau mengakui begitu saja.

Hanya berselang dua bulan sejak proklamasi, tentara Sekutu yang diboncengì Belanda kembali datang ke tanah air dan ingin kembali menguasai Indonesia. Saat itulah, Presiden Soekarno mengirim utusan untuk bertanya kepada KH Hasyim Asyari, apa hukumnya membela tanah air dalam kacamata Islam?

Gayung bersambut. KH Hasyim Asyarii segera berijtihad. Di Surabaya yang panas pada akhir Oktober 1945, para kiai berkumpul. Mereka mantap berdiri di belakang Republik Indonesia.

Menurut Martin van Bruinessen dalam “NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994: 52)”, wakil- wakil cabang NU di seluruh Jawa, Madura, dan ulama dari berbagai daerah berkumpul di Surabaya.

Di antara yang hadir adalah KH Kamil Sholeh (Sumatera Selatan), KH Romli (Makassar), Abdul Qodir Hasan (Banjarmasin), KH. Faishal (Lombok Tengah), KH Abdurrahman (Pandeglang), KH Abdul Hamid (Bogor), KH Abdul Halim (Majalengka), KH Abbas (Buntet Cirebon), KH. Amin (Babakan Cirebon), KH Ridwan (Semarang), KH Maksum (Lasem), KH. KH Asnawi (Kudus), KH Mahfudh Shiddiq (Jember), KH Usman (Cepu) dan lainnya.

Saat itulah lahirlah fatwa yang terkenal dengan nama Resolusi Jihad. Yang menyatakan perjuangan kemerdeķaan sebagai jihad (perang suci). Hukumnya wajib bagi umat Islam yang berjarak 94 km. Sebuah fatwa yang segera membakar semangat juang para santri untuk keluar dari pesantrennya masing-masing.

Tanggal 22 Oktober itulah yang kini ditetapkan Presiden Jokowi sebagai Hari Santri dan diperingati secara nasional setiap tahun.

Aksi heroik santri dan masyarakat dipimpin para kiai merebak di mana-mana. Laskar-laskar yang tumbuh di pondok-pondok pesantren keluar “sarang” nya melakukan aksi perlawanan. Suhu perlawanan pun terbentuk dan tidak ada yang bisa mengendalikan
heroisme massal kecuali para kiai itu sendiri.

Saat itu, para santri banyak bergabung dalam Laskar Hizbullah yang dipimpin KH Zainal Arifin. Laskar ini sebelumnya memang sudah dibentuk dan bahkan sudah mendapat pelatihan oleh Jepang di Cibarusa, Bogor. Sehingga para santri pada laskar ini sudah mengenal senjata. Sedangkan Laskar Sabilillah yang dipimpin KH. Masykur berpusat di Malang, dan berisikan para kyai.

Para santri ini berduyun-duyun datang ke Surabaya, dengan membawa senjata seadanya. Yang mereka bawa hanya satu, semangat untuk berjuang. Menegakkan amar maruf nahi munkar Hidup mulia atau mati syahid.

Komandan perang 10 November 1945 Kiai Abbas Abdul Jamil dari Pesantren Buntet Cirebon dikisahkan menggunakan bakiak menghadang hujan peluru Belanda.

“Bakiak tersebut yang digunakan oleh Kiai Abbas untuk memimpin peperangan 10 November,” ujar penulis buku “Kisah-kisah dari Buntet Pesantren”, Munib Rowandi, seperti dirilis Liputan6.com, 10 November 2016.

Selain menggunakan bakiak, lanjutnya, ternyata Kiai Abbas juga menggunakan alu (alat penumbuk padi) dan tasbih untuk melawan para penjajah dalam peristiwa besar tersebut.

Berkobarkan perang sengit yang menyentak dunia itu, di Surabaya pada 10 November 1945. Hanya beberapa pekan setelah kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Pemuda Sutomo alias Bung Tomo bahkan diketahui meminta nasihat kepada Kiai Hasyim Asyari.

Dikutip dari Ensiklopedi NU, Bung Tomo kerap bertandang ke Pesantren Tebu Ireng, Jombang, untuk menemui dan meminta restu Kiai Hasyim Asy’ari. Bung Tomo dikenal sebagai orator dalam Pertempuran 10 November 1945 yang membakar semangat arek-arek Surabaya, salah satunya dengan pekikan “Allaht Akbar”!!!

Heroisme para santri dan arek-arek Suroboyo ini tervisualisasi dalam film “Sang Kiai”. Dalam film itu, secara fiksional digambarkan bahwa orang yang menembak mati Brigadir Jenderal Mallaby, komandan pasukan NICA yang diboncengi Belanda untuk kembali menjajah Indonesia, di Jembatan Merah adalah seorang santri. Kematian Mallaby itulah yang bikin marah tentara Inggris dan kemudian memicu Pertempuran 10 November 1945.

Pada perang besar yang menjadi perhatian dunia itu, ribuan santri dan pejuang gugur. Darah mereka tertumpah di Surabaya. Surabaya menjadi saksi betapa sebuah kecintaan dan iman yang teguh, akan perintah agama, dan membela bangsa dan negara dari ketidakdilan, membuat ribuan santri dan pejuang rela bertaruh nyawa. Mereka rela mati syahid demi sebuah niat luhur, memerdekakan bangsanya. Surabaya kemudian dijuluki Kota Pahlawan. Dan 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.

Sudah sewajarnya rakyat dan para pemimpin negeri ini menghormati dan memuliakan para santri dan ulama. Karena merekalah sesungguhnya tulang punggung yang menjamin
kokohnya negara ini.

Selain itu, diharapkan melalui kesalehan ritual dan sosialnya, para santri bisa terjun dan masuk ke dalam berbagai sektor. Sebab, seyogyanya santri disiapkan untuk menjadi pemimpin.

Untuk mewujudkan itu, semua harus membekali diri dengan berbagai macam keilmuan umum dan keagamaan. Karenanya harus tercipta santri ahli teknologi, hukum, sejarah, ekonomi, kedokteran.

Tentunya yang berjiwa santri. Sehingga kelak, para santri akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang langguh, yang meneruskan Resolusi Jihad terhadap setiap bentuk ketidakadilan yang menimpa bangsa ini. Menuju bangsa yang kuat, maju, makmur, dan relijius. Insya Allah. []

Oleh : Masayu Indriaty Susanto (Jurnalis Senior)