NU Satpam

Gambar : google.com

Entah dari mana awal mulanya di kalangan Nahdliyyin muncul istilah satir, Nahdlatul Ulama (NU) seperti daun pisang di saat hujan. Sebagai peneduh agar tak basah. Bila hujannya reda, daun pun dicampakkan ke comberan. Lantas dilupakan.

Ada juga yang mengibaratkan NU sebagai pendorong mobil mogok. Bila mobil sudah jalan, tukang dorong pun ditinggalkan. Tak dilirik lagi

Malah pernah ada seorang kyai mengatakan ke Gus Dur, “Gus, di pikir-pikir NU di negeri ini kok seperti SATPAM, yaa?. Kalo sedang genting baru diperlukan. Kalau tidak, nganggur.”

Maksud pertanyaan pak kyai kira-kira, apa orang NU tidak punya potensi sahingga tidak bisa berkhidmat untuk negeri ini? Apa tidak bisa berubah nasibnya dari sekedar daun pisang, tukang dorong atau Satpam?

Apa jawaban Gus Dur. Sungguh diluar dugaan. “Memang jadi Satpam itu kurang mulia? Apalagi kalo Satpam untuk bangsa dan negeri sendiri?

Jawaban Gus Dur yang kadang sulit dipahami itu seakan meneguhkan prototipe NU yang selalu ikhlas dan qanaah bila urusannya menyangkut bangsa dan negara.

Ketika kakeknya, pendiri NU: Hadratussyeikh K.H. Hasyim Asy’ari memfatwakan “jihad” mengusir penjajah hukumnya Fardhu ‘ain, para santri berbondong-bondong gabung dan aktif dalam pasukan Hizbullah, Sabilillah dan pergerakan yang lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Para Satpam itu berjuang ikhlas tanpa pamrih. Tidak mengharap gaji atau “posisi” bila negara sudah berdaulat penuh.

Atau ketika peran dan perjuangan mereka tidak ditulis dengan tinta emas sejarah, mereka tidak mengeluh apalagi protes. Sebab yang dilakukan itu adalah kewajiban sebagai warga negara. Bukan “jasa” yang perlu diperkatakan, apalagi dituntut balasannya.

Namun sekarang dunia telah berubah. Bangsa ini memasuki era baru, era demokrasi. Era yang menjadikan bangsa ini kian terkotak-terkotak. Setiap kelompok mementingkan kelompoknya sendiri. Termasuk NU. Banyak orang NU mulai pandai membuat kalkulasi. Kalkulasi “bagi-bagi kue”.

Jika diartikan kue itu kekuasaan. Maka kekuasaan itu suara. Suara warga NU besar. Mereka solid pada kyainya. Jangan heran kalau banyak yang mendekati NU. Mencoba mengambil hatinya.

NU-pun kian seksi dan laris manis. Ketika suara sudah di dapat dan kekuasaan pun diraih. Orang NU mulai berpikir minta bagian. “Karena tidak semua orang mau capek.” Kata mereka.

Ini yang ironis. Seolah-olah ada kaidah pembenaran bahwa jika tidak bermain mata dengan kekuasaan, NU akan terpuruk. Makanya tak ada jalan lain NU harus terlibat dalam pemihakan kekuasaan layaknya partai politik.

Pemikiran seperti ini rasanya hampir-hampir mewarnai sebagian besar alam bawah sadar sejumlah pihak di NU, terutama para elitnya yang selama ini melakukan manuver-manuver politik.

Tapi hal ini bukan berati tidak menuai kontroversi. “Gimana, nggak kontroversi inikan melanggar khittah?” Kata seorang teman yang ngakunya aktivis NU kultural.

“Syukur-syukur kalo yang didukung menang. Kalo kalah? Gigit jari ko” Katanya lagi.

Dan bila itu terjadi eksesnya akan banyak bukan cuma relasi NU dengan penguasa yang terpilih akan dingin. Tapi juga di internal NU akan muncul perpecahan bahkan bisa jadi timbul kekecewaan masif di dalamnya.

Timbul Pertanyaan bagaimana seharusnya NU? Apakah NU tetap jadi Satpam, daun pisang, tukang dorong atau pisau cukur yang mahal, namun hanya digunakan untuk mengiris bawang.

Atau ada yg lain?
Jawabannya terpulang kepada para elit jamiyyah NU (PBNU) yang hari ini dilantik. Komitmen untuk menjauhi politik praktis seperti penjelasan Gus Yahya perlu didukung rame-rame.

Saya pikir agenda NU ke depan sudah menumpuk. Banyak hal yang perlu segera dibenahi. Pemberdayaan kesejahteraan ekonomi warga NU diantaranya.

Khusus mengenai pemberdayaan warganya banyak yang menilai NU gagal memerankan fungsinya. NU terlihat lamban melakukan terobosan.

Kecederungannya cuma menjemput bola, bukan melakukan langkah taktis dan kreatif untuk memahami realitas kehidupan warganya. Apa yang dilakukan umumnya lebih berdasar pada asumsi politik, bukan pada asumsi problem keumatan.

Seabrek persoalan memang menghantui. Namun sembilan puluh satu juta umat menunggu penuh asa. Api harapan pun tetap menyala. Menunggu “action” para elitnya.

Kepada merekalah disandarkan harapan. Harapan untuk menjadi lokomotif perubahan NU kearah yang lebih baik.

Di usia ke-96 atau hampir seabad, NU seharusnya sudah menetukan sikap hendak kemana gerbong raksasa ini menuju…

***

Selamat Hari Lahir NU ke-96. Selamat dan Sukses pelantikan PBNU Periode 2022-2027. Tetaplah Berkhidmat Untuk Umat dan Bangsa.