Menjelang Bulan Ramadhan ada sebuah tradisi yang dianut Umat Islam di hampir seluruh daerah di Indonesia. Yakni tradisi ziarah kubur. Masing-masing daerah memiliki sebutannya sendiri-sendiri.
Orang Bugis dan Mandar di daerah saya Wonomulyo, menyebutnya Massiara Kubburu atau Massiara Kubbur. Sementara Orang Jawa menyebutnya Nyekar. Sebagian lagi menyebutnya Nyadran. Nyadran inilah yang hendak saya ceritakan kepada anda.
Tradisi Nyadran berlangsung sebelum Ramadhan tiba yakni antara Bulan Rajab dan Sya’ban. Kedua bulan ini oleh Orang Jawa disebut Bulan Ruwah atau Bulan Arwah. Ruwah berasal dari kata Aruwah asal katanya Arwah dalam dialek Jawa.
“Jadi Bulan Ruwah adalah bulannya para arwah,” Begitu kata Pak Sarijo mbahnya teman saya.
Menurutnya, “Arwah adalah bagian yang abadi dari manusia. Arwah yang akan menghadap Allah nanti setelah hari kebangkitan. Tubuh hanyalah bagian dari alam yang setelah meninggal dan dikubur akan kembali menjadi tanah. Setelah seribu hari jasad manusia yang dikubur bila kuburannya digali biasanya akan musnah menjadi tanah.”
“Setelah seribu hari, umumnya diatas kuburan di beri nisan yang terbuat dari batu andesit sebagai tanda bahwa di bawahnya ada jasad yang di kubur.” Tambahnya
Bagi masyarakat kita nisan adalah penanda. Dengan melihat nisannya, orang bisa tahu siapa yang dulu dikebumikan disitu karena pada nisan tertulis nama, tanggal lahir, dan tanggal berpulang. Selain itu batu nisan juga memiliki fungsi lain, yakni sebagai tempat menyiram air dan kembang yang akan ditaburkan jika berziarah ke pekuburan.
Wajar saja kalau tradisi berkunjung ke pekuburan tanpa sebotol air dan sekantong kembang rasanya kurang afdol.
Makanya tidak heran setiap menjelang Ramadhan banyak penjual kembang dadakan bisa ditemui di sepanjang jalan menuju pekuburan. Mereka duduk berjejer menjajakan beragam bunga yang baunya harum dan berwarna-warni. Jadi para peziarah tak usah takut kehabisan kembang karena semuanya sudah tersedia.
Beda dulu saat bisnis kembang “kuburan” belum ada. Kembangnya harus dibawa sendiri oleh peziarah. Diirit dan dibagi sedikit-sedikit saat ditaburkan diatas kuburan, yang penting rata. Kuatir tak cukup karena biasanya tidak cuma satu kuburan yang akan dikunjungi.
******
Bagi Orang Jawa, Nyadran bukan semata-mata ziarah kubur biasa. Datang, cabut rumput, buang sampah kemudian tabur bunga dan baca doa terus pulang seperti yang sering dijumpai.
Tapi Nyadran adalah rangkaian upacara budaya berupa pembersihan makam, tabur bunga dan puncaknya adalah mendoakan arwah yang diikuti dengan kenduri berupa makan bersama di sekitar makam leluhur yang diikuti segenap warga kampung.
Menurut Wikipedia Nyadran berasal dari Bahasa Sangskerta, Sraddha yang artinya keyakinan. Sementara dalam Bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata Sadran yang artinya ruwah syakban.
Tradisi Nyadran tidak hanya ada di Jawa. Tapi ada juga di tempat lain di Indonesia. Bahkan di luar negeri seperti New Macedonia dan Suriname ada tradisi yang mirip Nyadran.
Di Wonomulyo Polman, tradisi nyadran dilakoni oleh para transmigran asal Jawa Tengah. Terutama yang bermukim di sekitar Desa Bumiayu dan Kebunsari.
Barangkali karena mereka diberangkatkan oleh pemerintah Kolonial Belanda dalam bentuk Transmigrasi Bedol Desa atau satu desa di “angkut”. Dari kakek hingga cicit ikut semua. Maka jadilah tradisi leluhur mereka bawah serta ke daerah yang baru di Pulau Sulawesi.
Dulu ketika masih kecil, saya pernah diajak seorang teman ikut nyadran. Saya tidak terlalu ingat pastinya di desa apa. Yang saya ingat cuma proses persiapan dan pelaksanaannya.
Proses persiapan Nyadran cukup panjang. Biasanya dimulai sekitar tiga hari sebelum hari “H”. Di hari-hari itu yang paling sibuk adalah ibu-ibu. Mereka berjibaku di dapur mempersiapkan makanan. Yang paling pertama disiapkan adalah Tape Ketan. Karena nanti tape itu baru bisa dicicipi tiga hari kemudian.
Kata teman saya dalam membuat tape tidak asal-asalan. Ada tirakatnya. Saat seseorang membuat tape ia tidak boleh diajak bicara. Takut tapenya tidak jadi, atau jadi tapi rasanya tidak manis.
Selain tape, ada juga beragam kue, buah dan makanan. Yang pasti tumpeng dan ayam goreng tak pernah ketinggalan.
Celakanya anak-anak di larang keras menyentuh makanan sebelum proses Nyadran selesai. Padahal pelaksanaanya terasa lama dan melelahkan.
Kenapa lama?
Karena pelaksanaan Nyadran baru dimulai ketika sesepuh kampung mulai angkat bicara. Sang “sesepuh” akan menceritakan sejarah sekaligus silsilah para leluhur kampung beserta anak, cucu sampai cicit-cicinya baik yang menetap di kampung atau yang tinggal diluar kampung. Disebut satu-satu dengan riwayat hidupnya. Bekerja dimana, nikah sama siapa, anaknya mana saja, dan seterusnya, dan lain sebagainya.
Nanti setelah itu baru dilanjutkan dengan ceramah dan ditutup dengan pembaca doa oleh tokoh spiritual kampung. Biasanya seorang kyai atau ulama, barulah warga dipersilahkan mencicipinya. Dan anak-anak pun berebutan mengambil makanan favorit mereka.
Capeklah pokoknya.
Kemarin saya menelepon teman menanyakan Tradisi Nyadran di Wonomulyo. Katanya, tradisi Nyadran sudah tak pernah lagi ia dengar selain nyekar atau ziarah kubur biasa. Sebagian besar para orang tua pelaku Nyadran sudah meninggal. Sementara anak dan cucu-cucunya sudah tidak lagi memiliki keinginan untuk melanjutkan tradisi itu.
Zaman sudah berubah. Tuntutannya kian keras. Para pewaris Nyadran di Wonomulyo sudah berpencer mencari kerja. Mereka umumnya malas pulang kampung menjelang ramadhan kecuali mudik saat lebaran. Itu pun kalau sempat.
Sementara yang masih menetap di kampung sedikit banyak sudah menjadi pelaku pertukaran budaya dengan orang luar. Misalnya kawin mawin Orang Jawa dengan Orang Mandar atau Bugis.
Hal yang tak bisa dipungkiri bahwa secara tidak langsung silang budaya tersebut mengakibatkan sebagian tradisi Orang Jawa di Wonomulyo tergerus atau sudah berakulturasi budaya setempat. Bahkan tidak jarang justru kehidupan mereka dipengaruhi budaya Suku Mandar dan Bugis yang hidup disekitar mereka.