Obat Ngompol

“Ayaah.. capuungg!” suara si kecil melengking tinggi dan berlari kencang kearahku. Tangan mungilnya menarikku menuju taman di depan rumah.

Di sana sudah ada kakaknya. Dia sedang mengamati seekor capung berwarna biru, bergaris hitam. Serius sekali hingga matanya tidak berkedip.

“Tolong ditangkap, yah.” Pintanya.

Untung capung itu jinak sehingga dengan mudah saya menangkap dan menyerahkan pada keduanya secara bergantian.

Mereka kegirangan seperti mendapat mainan baru.

“Setelah ini dilepas yaa. Takut capungnya mati.” Keduanya mengangguk bahagia.

Seakan mendapat dejavu. Kebahagiaan mereka mengingatkanku pada masa kecil.

Masa ketika bertelanjang kaki, sampai bertelanjang dada berlari berkejaran di tengah padang rumput dekat tanggul sungai di pinggir Jalan Padi Unggul Sidodadi, kampung kelahiranku.

Atau di sekitar Lapangan Gaswon Wonomulyo.

Dulu Jalan Padi Unggul belum seramai sekarang. Di sisi kanan kiri tanggul masih dipenuhi rumput perdu dan ilalang.

Lapangan Gaswon apalagi.

Lapangan kebanggaan warga Wonomulyo terutama anak-anak mudanya karena sering menjadi tempat ngumpul dan bersantai itu, dulunya adalah Surga bermain para capung.

Bila tak terpakai untuk bermain bola dan main layangan.  Atau tak ada event-event keramaian lainnya kesanalah saya menuntaskan hobi mengejar dan menangkapi capung.

Saya tidak sendiri. Banyak anak yang memiliki hobi serupa.

Berbekal sejulur ranting lurus dengan plastik bening bekas wadah gula pasir 1 kilogram yang digembungkan. Lalu pangkalnya diikat dengan karet gelang agar tak lepas.

Mulailah operasi pengejaran berlangsung.

Kami berlari menyebar di sekitar padang rumput.

Bak kucing mengintai tikus. Kami mengendap-endap dibelakang “Sang Capung” supaya gerak-gerik kami tak dicurigai mereka.

Pelan betul gerakannya. Bahkan sampai menahan nafas segala.

Seperti kata orang sekarang, permainan ini memacu andrenalin karena tantangannya berat. Butuh kesabaran ekstra dan strategi yang jitu.

Bila buruan kami masuk perangkap. Betapa bahagianya.

Tak kenal waktu. Saking asyiknya sering kali kami lupa diri.

Sayang keasyikan itu sering terganggu. Karena panggilan orang tua. Kalau tidak diajak makan, tidur, mandi atau disuruh pergi mengaji.

Kalau sudah begitu capung tangkapan kami dilepas dengan ikhlas. Tak ada hasrat sama sekali membawanya pulang. Baik untuk dirawat atau dipelihara.

Tapi sebelum dilepas, ada ritual khusus yang harus dilakukan.

Capung-capung yang ditangkap tadi diarahkan untuk menggigit pusar kami. Katanya ini sebagai bentuk permohonan maaf karena kami telah menangkap si capung.

Konon kabarnya, bila menangkap capung itu bisa menyebabkan sakit perut hingga mencret. Dan ritual tadi adalah penawarnya.

Entah benar tidaknya ritual itu, kami tak peduli. Ritualnya tetap jalan. Dan kami menikmatinya.

Memang gimana rasanya digigit capung?

Yang pasti ketika si capung mulai menggigit pusar akan terasa sensasi yang susah diceritakan. Gelinya luar biasa.

Tapi belakangan saya mendengar di Kabupaten Pinrang dan Enrekang ada sebuah tradisi yang masih dipercayai orang tua. Bila anaknya sering ngompol maka obat penawarnya juga capung.

Cuma saya kurang paham cara pengobatannya.

Apa si capung di letakkan di pusar dan membiarkannya mengigit sama seperti penawar sakit perut tadi?

Atau si capung ditaruh pada tempat tertentu yang letaknya lebih strategis dan konkrit.

Kemudian mempersilahkannya untuk mengigit sesuka hatinya agar si anak tidak ngompol lagi?

Atau bagaimana. Entahlah..?

Saya cuma berkhayal seumpama kalau itu benar terjadi. Saya tak bisa membayangkan akan bagaimana rasanya..