Pagi, saya disergah cerita teman sekerja yang mencengangkan.
Menurutnya,”Pak Nurding di? Bisanya,”sambil geleng-geleng kepala.
“Ditangkap. Padahal dia orang pintar, banyak prestasi : membuat banyak inovasi pelayanan, beragam penghargaan direngkuh, dan berbagai pengakuan kinerja baik lainnya. Berdasarkan berita yang Saya baca, dia dijemput di rumahnya tengah malam kemudian langsung diterbangkan ke Jakarta. Bersama rekannya : pengusaha dan anak buahnya”.
“Kekuasaan dan kesempatan, mungkin itu ya?. Tapi apa iya, padahal dia juga bukan orang biasa. Basis pengetahuan dan penghasilan bagus : background akademisi, dan ada juga perusahaanya”.
Sambil memperbaiki posisi duduk dia melanjutkan,”analisis pakar yang saya baca, bahwa dia disangkakan pasal suap. Artinya jelas ada yang menyuap dan disuap. Ini jelas kuat buktinya. Bisa sadapan percakapan atau apa. Menurut catatan pakar, bahwa ketika dulu dia mendapat banyak pengakuan kinerja, lingkup area kerja cenderung sempit : kompetitor atau oposan yang bisa saja kurang, jadi semua bisa diatasi dan kalaupun ada celah bisa dengan cepat bisa ditutupi”.
“Sekarang, ketika area pengabdian semakin luas, jelas tantangan semakin terasa. Kompetitor lebih berkelas : dari berbagai kelas sosial, latar belakang dan arena jangkau kompetitor level daerah hingga pusat kekuasaan serta basisnya bisa person atau kelembagaan”.
“Nah, dari sini dengungan prestasi kinerja baik nyaris tak terdengar lagi. Jelas ini berbalik dari ekspektasi publik pada masa awal kepemimpinan”.
“Publik saya lihat terbelah. Ada yang mempertanyakan proses penjemputan dan ada pula yang mafhum, bahwa ini proses hukum yang mesti berjalan sesuai mekanisme dan prosedur”.
Sambil nyeruput kopinya, “tapi kita juga tidak bisa sok suci atas fenomena ini. Karena kita biasa melakukan pada level yang sangat kecil. Meskipun ini sebenarnya tidak bisa dijadikan pembenaran dan disandingkan sejajar, kerena kasus ini adalah sangkaan bentuk pengingkaran atas amanah publik dan konstitusi, “katanya mantap.
Tunggu dulu, ini teman cerita apa?. Kayaknya dia sudah seperti pakar politik sekaligus hukum tata negara. Kok berat dan terdengar menyesakkan.
Padahal, Pak Nurding yang saya kenal itu juga orang baik, tapi tidak seperti penuturan teman sebelumnya.
Sependek pengetahuan, Pak Nurding yang saya kenal juga berada pada level kekuasaan tertentu. Bisnis pada area akademik.
Dulu, padanya tergenggam kuasa sumber kehidupan dan utang-piutang, terutama bagi penghuni kampus. Ketika kita kelaparan dan tidak punya uang, maka kita hanya butuh nyali untuk kenyang. Ya, mengutang.
Pelayanan yang dilakukan juga sangat prima. Pintunya akan selalu terbuka, bahkan ketika tengah malam. Akan tetap melayani meskipun utang kopi dan indomi. Jelas ini ingatan pribadi yang mungkin juga mewakili pengalaman bersama penghuni kampus Aswaja.
Pak Nurding, melayani membantu tanpa mau memupuk trah kepercayaan publik dan elektabilitas tentunya. Dia melayani semua golongan : ber-uang atau yang memelas untuk mengutang. Jelas dia tidak punya beban moral atau utang kepercayaan, sehingga tidak ada beban masa lalu, tidak ada balas budi.
Selain kebaikan sederhana, tentu buku catatan utang yang masih terngiang, hehe…
Ah, ini yang saya cerita Pak Nurding atau Pak Uding pemiik kantin?. Kayaknya itu juga.
Pak Nurding. Padanya kita bisa belajar tentang sebuah area pengabdian dan tantangan. Menghakimi citra personal harus kita pikir ulang. Karena jasanya akan mengendap pada yang merasakan, sebagaimana kebaikan dari Pak Nurding yang saya kenal.