Site iconSite icon pulipuli.id

Parrawana Buruda

Gambar: Asmadi Taro

Saya datang terlambat. Alunan bunyi Rawana sudah membahana. Memaksa kaki melangkah lebih cepat mendekati sumber suara.

Deqdeq para Parrawana (penabuh rawana) dari jauh terdengar magis. Suaranya seperti hendak menantang laut. Bertabrakan dengan suara ombak.

Cuma kali ini ombak mengalah. Seperti ikut menyimak. Ombak tetap tenang tak bersuara.

Yang terdengar hanya derai tawa anak-anak nelayan. Mereka berlari di tepian saling kejar. Cuaca yang teramat sejuk karena sore usai gerimis.

Delapan lelaki dewasa berbaju putih. Bersarung Sutra Mandar dan berkopiah hitam menabuh rawananya dengan penuh semangat.

Mereka duduk bersila membentuk lingkaran. Matanya terpejam mengikuti ritme deqdeq (tabuhan) rawana yang mereka tabuhkan.

Gambar: A. Faisal

Suasananya sungguh meriah.

Kemeriahan itu kemudian ditimpali nyanyian dengan suara keras dan kompak dari delapan orang tadi.

Tapi jangan membayangkan kekompakan mereka mirip paduan suara atau vocal grup anak sekolahan ketika menyanyikan Lagu Indonesia Raya.

Yang ini beda.

Syair dan maknanya berat. Tak mudah di tangkap. Apalagi kalau lebih fokus pada deqdeq rawananya, bukan pada syair-syairnya.

“Aaa.. eee.” Bunyinya mirip orang mengigau. Atau “Hu..hu..hu.” Seperti orang meracau.

Namun tunggu dulu.

Tak semua syairnya kering tanpa makna. Atau susah dipahami maksudnya. Ada juga yang akrab di telinga .. ”Lailahaillallah Muhammadurrasulullah”

Meski lantunan nada naik-turun. Kadang tinggi. Kadang rendah. Namun tetap enak di dengar. Seperti diayun. Melenakan rasanya. Inilah salah satu keunikan Rawana Buruda yang tak dimiliki rawana lain.

Maka jadilah suasana Paceko Jambrud Pantai Koakoa berbeda dari biasanya.

Kalau dulu lebih banyak terlelap dalam sepi. Kini ramai ditimpali suara tetabuhan dan kumandan syair-syair mistis Buruda.

Dan saya pun turut beruntung bisa menikmati sajian cita rasa lain rawana. Cita rasa spesial racikan teman-teman Komunitas Parrawana Siamasei La’mase dari Renggeang Limboro Kabupaten Polman. (Selasa, 1/11).

Menurut Asmadi Taro, pegiat Budaya Mandar yang banyak mengikuti perkembangan dunia rawana sejak belia. Komunitas Siamasei La’mase memang punya kekhususan.

Baginya, Siamasei La’mase adalah komunitas Parrawana yang masih mempertahankan keaslian rawana. Mereka kukuh dengan pakem warisan leluhur parrawana.

Ketika ditanya beda komunitas ini dengan yang lain, ia berkomentar:

“Pernah nonton aksi parrawana mengiringi pengantin atau khatam Qur’an? Yang anda nonton itu adalah parrawana hiburan. Kalau Komunitas ini beda. Mereka memadukan rawana sebagai hiburan dan rawana sebagai media spritual.”

“Nah. Unsur spiritualitas itu yang hilang di parrawana sekarang. Padahal itulah rawana asli warisan leluhur. Spirit rawana ada disitu.” Sambungnya.

Memang rawana atau rebana dalam Bahasa Mandar tak bisa dilepaskan dari unsur spritualitas. Khususnya Islam.

Menurut sejarahnya rebana pertama kali muncul pada abad ke-6 Masehi. Ketika itu Nabi Muhammad SAW Hijrah dari Makkah ke Madinah. Warga Madinah yang gembira melihat kedatangannya lantas menyambut dengan membunyikan rebana sambil bersyair memuji Nabi.

Di Indonesia rebana diperkenalkan oleh Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi pada abad ke-13 Hijriyah. Habib Ali menggunakan rebana sebagai media dakwah menyebarkan Agama Islam.

Rawana berasal dari kata Rebana. Yang dalam bahasa Arab, Rabbana. Rabbana artinya “Tuhan kami”. Pengertiannya bahwa alat ini biasa digunakan untuk menyeru nama Allah SWT. Atau puji-pujian kepada Rasul-Nya.

Ada juga yang memahami asal kata rebana: Arbaa artinya empat. Bilangan empat mengandung prinsip dasar Islam yakni melakukan kewajiban kepada Allah SWT, masyarakat, alam dan dirinya sendiri.

Sebagai alat musik tradisional, rawana umumnya terbuat dari kayu yang dibulatkan. Berongga di bagian tengahnya. Kemudian dipasangi kulit kambing kering di permukaannya sebagai sumber bunyi.

Ukurannya beragam. Namun yang umum berdiameter kurang lebih 30 sampai 40 centimeter. Rawana biasanya dimainkan dengan cara ditabuh dengan tangan.

Kembali ke komunitas Parrawana Siamasei La’mase.

Ada keunikan yang dimiliki komunitas ini yakni selalu mengawali pertunjukan dengan membaca Shalawat Burda. Shalawat karya Imam Muhammad bin Sa’id Al Busyiri. Yakni: Maulaya..

Lengkapnya:

“Maulayasholli wasaa lim daiman abada ‘Ala habibika kho-iril kholkikullihimi”

Bagi Siamasei La’mase, Buruda adalah doa kehadirat Yang Kuasa. Sekaligus memohon safa’at Rasulullah SAW untuk keselamatan semesta, para leluhur, penonton, parrawana dan keluarga yang punya hajat.

Rawana buruda pun mengandung nilai-nilai sakral.

Seperti penjelasan Hasanuddin Latif, S.Sn (alumnus etnomusikologi ISI Yogyakarta dan anggota Komunitas Siamasei La’mase):

“Rawana Buruda bukanlah sekedar tradisi semata. Buruda tidak boleh dimainkan secara sepele. Ada amal baik yang terkandung di dalamnya. Amal bagi orang-orang berdosa yang mohon ampun pada Tuhan.”

Hal senada juga disampaikan, Saeni gurunya (pendiri Komunitas Siamasei La’mase):

“Iya tuqu rawana andiangi mala diapangi-panginoang apaq namawusungi tau” (Rawana (buruda) itu tidak bisa diperlakukan secara sembarangan sebab bisa berakibat buruk).

Dari penelusuran lebih lanjut lewat bincang-bincang dengan para anggota komunitas ini saya dapatkan sebuah cerita menarik. Ceritanya saya peroleh dari Saharuddin ketua Komunitas Siamasei La’mase tentang manfaat rawana buruda. Katanya:

“Rawana buruda bisa menjadi media pengobatan dan penyembuhan bagi jenis-jenis penyakit tertentu. Di kampung-kampung di mandar sudah sering dilakukan. Alhamdulillah mujarab”.

Sayangnya, saya lupa mengorek jenis penyakit dan metode pengobatannya. Karena terlalu asyik menikmati pertunjukan.

Selain di Sulawesi Barat, tradisi mirip rawana buruda juga dikenal di tempat lain. Ada di Sumatera Barat, di Nusa Tenggara Barat. Ada juga di Gorontalo. Setiap daerah memiliki ciri khas sendiri-sendiri.

Di Sulawesi Barat, khususnya parrawana Siamasei, sebelum melakukan pertunjukan mereka melakukan ritual khusus terlebih dahulu.

Ritual ini tak boleh ditinggalkan. Semacam syarat yang harus dipenuhi sebelum mulai menabuh rawana.

Pertama, membaca doa. Kedua, Mattunu undung (membakar dupa) dan malliqar (mengencangkan kulit rawana).

Selain kedua syarat itu. Parrawana buruda juga memiliki pantangan.

Pantangannya berupa larangan untuk tampil di siang hari, pagi hari atau sore hari. Pokoknya pertunjukan cuma bisa dilaksanakan pada malam hari.

Siamasei La’mase biasanya tampil usai Shalat Isya dan mentas hingga dini hari. Dan di setiap akhir pertunjukan selalu diisi penampilan teater tradisional Koa-koayang.

Menurut Asmadi, Teater tradisional Koa-koayang sudah dikenal sejak dulu. Menjadi sarana hiburan bila ada kenduri di masyarakat.

“Koa-koayang adalah sejenis burung berparuh besar berwarna kuning dengan bulu warna hitam strip putih. Biasanya suka bertengger di pohon-pohon besar. Kayak burung Rangkong.” Jelasnya.

Meski dalam rawana buruda, koa-koayang berfungsi sebagai media hiburan, para anggota Siamasei tak menampik kalau ada pesan tersirat dalam pertunjukan. Pesan yang bermuatan spiritual. Khususnya ajaran tasawuf.

Dalam literatur-literatur tasawuf, burung menempati posisi penting.

Saking pentingnya, Fariduddin Attar seorang mistikus terkenal asal Iran secara khusus menulis kitab berjudul: Manthiq al-Thair atau Musyawarah Burung.

Gambar: Iqra.id

Kitab ini menjadi pengangan sekaligus rujukan bagi para penganut sufi falsafi dalam mempelajari tasawuf.

Bagi para sufi, burung adalah lambang. Lambang keluhuran, keindahan, kejujuran, kebenaran, kemuliaan, rezeki, suara gaib, petunjuk, kesucian dan berbagai hal mulia.

Burung juga sering dilambangkan sebagai “Ruh”. Simbol pendakian rohani tertinggi. Burung adalah penghubung antara badan dan batin manusia dengan Allah.

Sekali asma Allah di sebut oleh badan batin manusia, maka beterbanganlah burung-burung menuju arasy untuk menyampaikan Asma Allah.

Setiap diserukan asma Allah, setiap itu pula burung muncul dan membawanya ke arasy.

Karena tingginya posisi burung dalam ajaran spiritual, di beberapa masjid di Indonesia seperti di Cirebon dan di Demak meletakkan burung buatan di bagian atas kubah masjid.

Bagian, yang kini banyak digantikan dengan lambang bulan-bintang.

Exit mobile version