Pung Masi’: Perempuan Perkasa dari Salassae

Gambar : Iswan Afandi

Usia senja tak jadi penghalang baginya melakoni aktivitas bertani. Jika melihat seusianya sangat sulit menemukan orang yang bergelut dengan cangkul dan parang dilahan pertanian. Beda dengan pung Masi’, meski berusia senja (diperkirakan usianya sudah diatas 60-an), ia tetap beraktivitas layaknya petani lain yang secara umur dan fisik masih segar bugar.

Banyak yang berspekulasi tentang hal itu. Ada yang bilang Pung Masi’ tetap kuat karena ada “Paddoangan” (doa) khusus yang dimilikinya. Tapi tidak sedikit yang menyatakan karena beliau “bertani alami” dan mengkonsumsi beras alami setiap hari.

Entahlah? Hanya Pung Masi’ dan Tuhan yang tahu.

Sebagai Perempuan desa yang hidup ditengah mainstream dominan pelaku budaya Patriarki bahwa perempuan hanya memiliki tugas terbatas di wilayah rumah saja, ia melawan mainstream. Di desa memang begitu batas ruang kerja perempuan dan laki-laki tak nampak seakan ada yang lebih dominan diantara yang lain.

Pung Masi’ pernah lama di negeri Jiran (Malaysia) bagian timur. Ia merantau mengadu nasib, berharap kehidupan lebih baik di banding saat tinggal dikampung sendiri. Konon masa itu merantau adalah masa untuk menjawab sulitnya mencari penghidupan di kampung, akhirnya pilihan satu-satunya adalah merantau ke negeri tetangga yang dipercaya lebih menjanjikan kesejahteraan hidup.

Di kampung masa itu merantau ke Malaysia memang menjadi pilihan terbaik bagi setiap warga untuk mengadu nasib. Ada yang jadi Mandor, Pekerja (Buruh Kasar), ada juga yang cuma mengurus lalu lintas para perantau, mirip agen atau makelar.

Saat di Sabah, Pung Masi’ berkerja sebagai pekerja lahan perkebunan, ada banyak lahan yang pernah disentuhnya. Lahan Sawit, Cacao dan Kopi. Banyak pelajaran tentang pertanian konsep industri menjadi bekal pengetahuannya. Cukup lama ia disana, oleh-oleh terbesarnya adalah pengalaman hidup di rantau. Ada suka. Ada duka.

Seiring berjalannya waktu, Ia memutuskan kembali ke kampung. Merantau sudah cukup dan saatnya pulang, bekal untuk kebutuhan dikampung sudah ada, meski tak banyak. Cukup untuk memperbaiki rumah dan kebutuhan hidup selama setahun. Di kampung ia kembali mengurus lahan yang selama ini ditinggal dan memutuskan Bertani Alami.

Di lahan seluas 45 Are, seorang diri Pung Masi’ mengolah lahan sawah miliknya. Cangkul dan parang adalah sahabat setia yang selalu menemani setiap musim tanam tiba.

Pematang sawah dicangkul dan dibabat dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Tak mau menggunakan “Racun” (Pestisida) saat membersihkan pematang sawahnya, Pung Masi’ lebih memilih untuk mencangkul atau membabat dengan parang.

Baginya, percuma diberi racun karena tetap saja rumput kembali tumbuh, lebih baik di cangkul dan di babat, supaya uang yang di pakai membeli racun bisa di gunakan untuk kebutuhan lain yang lebih bermanfaat. “Kan, Rumput juga bisa jadi pupuk. Bisa jadi humus”. Katanya suatu waktu.

Bagi Pung Masi’ pupuk bukan penghalang, cukup minta kotoran ternak sama Pak Bate yang telah difermentasi jadi kompos. Pemberian Kompos juga tak berlangsung lama, cukup tiga kali musim tanam, selebihnya sudah tidak lagi karena tanahnya sudah subur dan sehat. Begitu pun untuk kebutuhan Nutrisi tanaman cukup dibuat sendiri dan bisa digunakan dalam waktu lama setiap musim tanam.

Pung Masi’ merupakan murid langsung Pak Bate. Ia belajar dilahan sawah milik Pak Bate bukan ditempat pelatihan seperti biasanya. Tak ada whiteboard, pulpen atau buku yang digunakan. Hanya menggunakan bahasa kampung.

Kini luasan lahan sawah itu tak lagi tersentuhan oleh Pupuk dan Pestisida produksi pabrik industri, semua kebutuhan pengolahan lahan, nutrisi tanaman telah dibuatnya sendiri. Bahkan musim tanam kali ini tak perlu lagi pemberian Kompos dan nutrisi tanaman, karena tanah miliknya sudah diyakini pulih dan sehat.

Sehat selalu Pung Masi’, kelak laku mu akan melegenda, bukan hanya di Salassae tapi diseluruh petala Bumi. Insya Allah..