Melihat Greysia Polii dan Apryani berdiri tegap dengan sikap hormat ketika bendera Merah Putih berkibar di arena Olimpiade Tokyo diiringi lagu Indonesia Raya, mau tidak mau kekaguman memuncak: betapa hebatnya para srikandi bulutangkis Indonesia ini berjuang mengharumkan nama bangsa di kancah dunia! Juga, betapa agungnya lagu kebangsaan Indonesia Raya, yang menggerakkan seluruh jiwa anak negeri untuk menghormati dan menghargai nasionalitasnya.
Lagu Indonesia Raya sendiri punya sejarah yang cukup panjang untuk diringkas dalam tulisan singkat ini.
Diciptakan oleh Wage Rudolf (WR) Supratman, yang tahun 1924 hijrah ke Jakarta setelah lama tinggal bersama kakak perempuannya di Makassar. Sebagai wartawan koran Sin Po, WR Supratman pernah meliput Kongres Pemuda I (30 April-2 Mei 1926), maka pada Kongres Pemuda II tahun 1928, beliau kembali diminta meliput acara tersebut.
Sebelumnya, di tahun 1927, WR Supratman merekam lagu Indonesia Raya dalam irama keroncong, bekerja sama dengan seorang Tionghoa yang berjiwa nasionalis Yo Kim Tjan. Musik keroncong memang sedang populer saat itu (Rekaman tersebut kini menjadi koleksi Museum Benteng Heritage, Tangerang. Museum tersebut adalah museum Tionghoa pertama di Indonesia, didirikan oleh Udaya Halim).
Kongres Pemuda II diadakan di 3 tempat. Rapat pertama (27 Otober 1928) diadakan di gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), rapat kedua (28 Oktober) diadakan di gedung Oost-Java Bioscoop, dan rapat penutupan diadakan di Indonesische Clubgebouw. Pada rapat penutupan inilah, lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya dimainkan di depan publik oleh WR Supratman dengan biola, tanpa alat pengiring lain. Ini dilakukan atas permintaan Soegondo Djojopespito, ketua Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), organisasi penggagas Kongres Pemuda.
Saat dimainkan di Kongres Pemuda II tersebut, lagu Indonesia Raya dimainkan dengan agak lambat. Dalam partitur asli tulisannya, WR Supratman memang menuliskan temponya sebagai ‘Oepatjara, djangan terlaloe tjepat.’
Peserta Kongres menyambut meriah lagu tersebut. Koran Sin Po edisi November 1928 menyebarluaskan naskah Indonesia Raya, dan segera populer di kalangan pergerakan kebangsaan. Refrein yang semula ditulis ‘Indonesia Raja Moelia Moelia’ (Indonesia Raya Mulia Mulia) segera tergantikan oleh ‘Indonesia Raya Merdeka Merdeka’ ketika dinyanyikan para pemuda dan kalangan pergerakan.
Pemerintah Kolonial Belanda geram, dan di tahun 1930 lagu tersebut dilarang. Nantinya, atas desakan Volksraad, lagu tersebut boleh dinyanyikan dengan syarat tidak di depan umum, di tempat tertutup, dan kata ‘Merdeka’ harus diganti kembali dengan kata ‘Mulia.’
Di masa penjajahan Jepang, lagu Indonesia Raya kembali dilarang. Namun menjelang kekalahannya, Jepang memperbolehkan lagu tersebut dinyanyikan. Kali ini, versi garapan Nobuo Iida, seorang Jepang, menjadi versi Indonesia Raya yang dinyanyikan dengan iringan musik. Temponya menjadi Marcia (ada versi Indonesia Raya dalam bahasa Jepang). Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kemudian memutuskan Indonesia Raya menjadi lagu kebangsaan, dengan perubahan pada beberapa kata (sesuai ejaan saat itu) dan beberapa perubahan pada nada. Lagu Indonesia Raya pun dinyanyikan ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, oleh semua yang hadir.
Di tahun 1950, seorang komponis asal Belanda yang tinggal di Indonesia, Josef van Cleber, diminta untuk mengaransemen lagu Indonesia Raya versi orkestra. Yang meminta adalah Jusuf Ronodipuro, kepala RRI studio Jakarta. Cleber menggunakan versi Nobuo Iida sebagai acuan. Tidak mengherankan, ketika diperdengarkan kepada Presiden Sukarno, sang presiden menolak versi tersebut. Beliau menginginkan agar lagu Indonesia Raya lebih lembut dan mendayu. Konon sampai 3 kali garapan Cleber direvisi dan diperdengarkan ke Bung Karno. Permintaan Bung Karno agar ada klimaks di puncak lagu setelah didahului bagian yang mendayu, dijawab Cleber dengan sempurna. Dalam versi Cleber, 20 bar pertama dimainkan dengan alat musik tiup, 8 bar berikutnya dengan alat musik gesek sehingga mendayu, dan refrein dimainkan oleh semua alat musik (tutti) sehingga terdengar megah dan membahana. Untuk tempo lagu, menyiasati permintaan Bung Karno dan disesuaikan dengan partitur acuannya yang bertempo Marcia, Cleber memberi tempo Maestoso con Bravura (Agung dan Berani). Itulah versi yang kita dengar sampai saat ini, setiap kali tanggal 17 Agustus dan upacara kenegaraan lainnya. Setidaknya sampai Komponis Addie MS di tahun 1998 merekam kembali secara digital berdasarkan aransemen Jos Cleber tanpa perubahan sama sekali di Australia.
Lagu Indonesia Raya sendiri diciptakan 3 stanza (3 bait). Peraturan Pemerintah no 44 tahun 1958 dan UU no 24 tahun 2009 mengatur dengan rinci tentang lagu Indonesia Raya. Jika dibawakan 1 stanza, maka refrein diulang 2 kali (seperti yang acap kita dengar). Namun jika lengkap 3 stanza, maka refrein setelah stanza pertama dan kedua hanya 1 kali, dan baru diulang 2 kali setelah stanza ketiga. Ini mungkin yang jarang kita dengarkan atau kita lakukan.
Ada banyak pihak yang turut berpartisipasi dalam perkembangan lagu Indonesia Raya sampai menjadi bentuk finalnya yang kita ketahui hari ini. Ada WR Supratman sang pengarang. Ada forum Kongres Pemuda yang menghimpun seluruh pemuda Indonesia sebagai audiens perdana. Ada orang Tionghoa yang membantu rekaman perdana lagu ini. Ada koran Tionghoa yang mempopulerkan teks Indonesia Raya pertama kali. Ada orang Jepang dan orang Belanda yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang ikut menggubah dan memberi bentuk yang lebih meriah pada lagu Indonesia Raya. Ada musikus nasional seperti Addie MS dan Twilite Orchestra yang memberi bentuk digitalnya. Dan tentu saja, ada kita semua, anak bangsa, yang setiap saat berusaha membawakan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan sempurna dalam suasana bangga akan nasionalitas kita. Itulah sejatinya identitas kita bangsa Indonesia, yang menjadikan keberagaman sebagai pemersatu, bukannya mengidentikkan persatuan dengan keseragaman.
Selamat menyambut hari kemerdekaan Indonesia!
Appendiks:
Teks asli Indonesia Raya (1928)
Lirik asli (1928)
INDONESIA RAJA
I
Indonesia, tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.
Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe:
“Indonesia Bersatoe”.
Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg’rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.
II
Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek s’lama-lamanja.
Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoea,
Marilah kita mendoa:
“Indonesia Bahagia”.
Soeboerlah tanahnja,
Soeboerlah djiwanja,
Bangsanja, rajatnja, semoeanja,
Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.
III
Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai,
Marilah kita berdjandji:
“Indonesia Bersatoe”
S’lamatlah rajatnja,
S’lamatlah poet’ranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea,
Madjoelah neg’rinja,
Madjoelah Pandoenja,
Oentoek Indonesia Raja.
Refrain
Indones’, Indones’,
Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg’rikoe jang koetjinta.
Indones’, Indones’,
Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.