Siapa Lelaki Idola Para Ibu Tetangga Saya?

Oleh : Abdul Hakim Madda

Sejak pemberlakuan bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH). Saya jadi punya hobi baru yakni sering duduk di teras menghadap ke jalan memperhatikan kendaraan yang berseliweran. Saya juga senang memperhatikan banyak aktivitas warga kampung yang berlalu lalang di depan rumah.

Beragam aktivitas khas orang kampung itu jarang saya perhatikan dengan sungguh-sungguh karena harus berangkat ke kantor pagi hari.

Petani ke kebun bertopi caping dengan sebilah parang di pinggang sambil menenteng bekal untuk makan siang. Atau kusir gerobak yang menghalau sapinya pergi mengangkut kelapa yang baru di panen untuk di buat Kopra. Semua itu jadi tontonan yang menyenangkan.

Ada juga aktivitas lain yang mengundang perhatian. Mereka ini para pedagang keliling yang menawarkan barang jualannya dengan gaya masing-masing.

Saya suka mendengar suara penjual kue yang menawarkan barang dagangannya dengan cara menyebut satu persatu nama kuenya. Juga pedagang barang campuran serba Rp. 20.000 yang menggunakan mobil bak terbuka dan suka memutar lagu dangdut lewat pengeras suara. Atau pedangan ikan keliling dengan lengking suara tinggi berteriak. “Balee..baaleee sappo.” ditengah suara knalpot motor yang memekakkan telinga.

Mereka hadir dengan keunikannya sendiri-sendiri. Namun diantara pedagang itu ada yang paling setia mengunjungi langganannya. Dia idola para ibu tetangga termasuk istri saya, Dia seorang pedagang sayur keliling. Inilah yang ingin saya ceritakan pada anda di tulisan ini.

Sebenarnya tak ada yang tahu siapa nama lengkap atau nama panggilannya termasuk Ibu-ibu tetangga saya itu. Yang saya dengar ia sering dipanggil Pak Ndut. Entah mengapa ia dipanggil begitu? Barangkali karena mukanya bulat dan tubuhnya gendut. Makanya disingkat ndut. Dia sendiri tak pernah protes apalagi marah.

Pak Ndut asalnya dari Klaten Jawa Tengah. Setiap hari jam 9 pagi, ia lewat di depan rumah dengan motot bututnya. Wilayah pemasarannya lumayan luas. Ke selatan sampai ke Kota Pasangkayu. Sementara ke utara sampai Bambaira.

Bagi ibu-ibu, Pak Ndut adalah orang penting. Kenapa? Karena kehadirannya adalah penyelamat bagi ibu-ibu yang tak bisa atau tak punya waktu ke pasar. Kalau rajin ibu-ibu ini bisa saja pergi ke pasar. Tapi karena bukan pasar harian, Pak Ndut menjadi solusi. Ia menjadi Very Important Person (VIP). Ia bukan lelaki sembarangan.

Sebenarnya di kampung saya ada dua pasar yang jaraknya tak jauh dari rumah, Pasar Bambalamotu dan Pasar Randomayang. Pasar Bambalamotu berlangsung dua kali seminggu, Hari Senin dan Kamis. Sementara Pasar Randomayang cuma berlangsung sehari saja yakni pada hari Sabtu. Di luar hari-hari itu pasar tutup.

Semenjak wabah Virus Corona berjangkit. Lalu muncul kebijakan social distancing, para pembeli jadi khawatir berbelanja ke pasar. Datang ke pasar menjadi momok yang menakutkan. Pasar jadi sepi. Karena sedikit pembeli akhirnya para pedagang pun enggan berjualan. Proses transaksi jual beli berkurang bahkan tak ada sama sekali. Posisi Pak Ndut pun makin vital.

Setiap pagi begitu lewat di depan rumah dia akan berteriak, “Yuur, sayuur buu!” Sambil membunyikan klatson motornya. Maka tanpa di komando ibu-ibu akan merapat mendekatinya. Beberapa kali saya turut bergabung dengan ibu-ibu itu, turut berbelanja.

Saya senang berinteraksi bahkan sering ikut larut dalam perbincangan khas ibu-ibu bersama Pak Ndut. Saya juga suka mendengar dia berbicara dengan aksen Jawanya yang kental.

Sekali waktu saya pernah menanyakan apa ia tidak takut pada Virus Corona? Ia menjawab, “Ya mau di apa mas. Saya tak punya pilihan lain. Kalau tak bekerja anak dan istri saya makan apa”.

Sama di kampung, saya yakin di kota juga begitu. Saya rasa ibu-ibu akan kerepotan kalau sampai Pak Ndut dan rekan-rekannya sesama pedagang tidak berjualan sayur. Di saat wabah Corona menyebar kemana-mana, belanja ke pasar adalah pekerjaan yang mencemaskan.

Selama berjualan Pak Ndut tak memakai masker atau kaca mata. Masker membuatnya sulit berbicara. Ia merasa komunikasinya jadi terhambat. Sementara kaca mata, “Ah, malu mas. Orang miskin kayak saya pakai kaca mata nggak pas.” Ujarnya sambil tersenyum.

Namun Pak Ndut sadar dengan bahaya virus. Dia menonton berita di televisi, dan juga melihat perubahan sikap orang-orang yang tinggal di Kota Pasangkayu. Beberapa langganannya ada yang takut berbelanja atau menitipkan padanya membeli keperluan dapur.

Saya perhatikan memang selama adanya wabah corona pola berdagang Pak Ndut berubah. Dia menjaga jarak dengan pembelinya dan cuma melayani paling dua orang saja. “Saya cuci tangan, mas.” Katanya sembari membilas tanganya pakai sabun setelah memegang uang.

Menurut saya Pak Ndut adalah penyuplai bahan pokok yang paling bisa diandalkan. Dia jujur dan bisa di percaya. Dia menjual barangnya dengan harga biasa. Padahal dalam kondisi banyak pasar yang tutup dia bisa saja berspekulasi.

Saya teringat banyak orang yang nasibnya serupa dengan Pak Ndut, terutama di kota-kota besar seperti Mamuju, Palu, Makassar atau Jakarta. Bahkan saya berpikir, ketika Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), orang-orang seperti Pak Ndut ini masih bisa bekerja membantu menyuplai bahan makanan bagi warga kota.

Di Jakarta misalnya, ada ribuan orang se-profesi dengan Pak Ndut. Saat ini pemerintah melarang mereka pulang kampung agar virus tak menular ke orang-orang yang mereka kasihi. Barangkali mereka bisa disiapkan sebagai garda depan di lapangan saat PSBB berlaku. tentunya sesuai dengan protokol atau aturan kesehatan yang ditentukan pemerintah.

*Penulis : Warga Biasa Menetap di Pasangkayu.