Bangsa Indonesia genap berusia 79 tahun pada 17 Agustus 2024 ini. Usia yang panjang sekaligus matang bagi sebuah perjalanan bangsa.
Namun apakah di usianya yang “matang” tersebut sekaligus menjadi jaminan bahwa perilaku berbangsa dan bernegara kita juga matang?
Merdeka sebagaimana tercatat dalam kamus berarti berdiri sendiri serta tidak terikat serta tidak bergantung pada pihak lain. Dalam konteks kekinian, pertanyaan yang patut untuk dikemukakan kemudian adalah apakah benar klta sudah merdeka dalam arti yang sesungguhnya?
Kemerdekaan Indonesia, sebagaimana dicatat dalam sejarah, tidak diperoleh dengan cuma-cuma. Ada perjuangan, kematian pahlawan, cucuran darah, sekaligus kesedihan yang mewarnai perebutan kemerdekaan itu. Sejarah mencatat bagaimana herolknya para pahlawan dalam mengusir para penjajah. Dengan pelbagai perjuangan yang tidak mudah itu, Indonesia akhirnya memperoleh kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Dan teks proklamasi dibacakan oleh Bung Karno tepat saat pukul 10.35 WIB. Mengenai waktu pembacaan teks proklamasi tersebut, Dennys Lombard (1997) seorang guru besar sejarah dari Prancis dalam buku Nusa Jawa Silang
Budaya, mengatakan bahwa Pak Karno sengaja membaca saat pukul yang telah ditentukan olehnya sebab Pak Karno adalah pembaca sejarah sekaligus futurolog yang baik, maka ia membaca teks Proklamasi searah jarum jam yang menggambarkan posisi Pulau Jawa dan Sumatra serta Gunung Krakatau sebagai as jarum jamnya. Sesungguhnya makna kemerdekaan yang sejati adalah tidak terkontaminasinya pola pikir manusia-manusia Indonesia oleh segala macam pemikiran yang bersifat kolonialis warisan para penjajah.
Makna kemerdekaan yang semacam ini sesungguhnya sering kali alpa dan tidak disadari oleh sebagian besar kita.
Meminjam analisis Syakib Arsalan (2007), problem utama negara bekas jajahan dan kolonialisasi adalah
ketidakberdayaannya untuk keluar dari falsafah dan pola pikir kolonial yang ditularkan oleh para penjajah. Saya sepakat dengan Anies Baswedan (2015) yang menyatakan bahwa problem utama kemerdekaan kita adalah ketidakmerdekaan pola pikir kita dari jeratan pola pikir kolonialisme.
Kita selalu berpikir eksploitatif terhadap sumber daya alam kita, tanpa pernah menyadari bahwa yang utama dan yang terutama dibangun adalah manusianya terlebih dahulu. Dalam hal pendidikan misalnya, sampai hari ini kita masih sibuk berurusan dengan kurikulum, sementara di pihak lain kita hampir abai sama sekali terhadap kualitas SDM atau guru-guru yang sesungguhnya merupakan kunci utama sebuah pendidikan.
Mengenai hal ini sesungguhnya ada sebuah adagium menarik yang patut untuk dijadikan pijakan bahwa “metode pembelajaran lebih penting dibandingkan materi pelajaran itu sendiri, namun di antara keduanya, guru lebih penting keberadaannya”. Banyak segmen kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang sampai hari ini merupakan produk cara berpikir kolonialis yang cenderung eksploitatif tersebut.
Hal ini sesungguhnya sangat berbahaya, sebab meminjam
analisis Tony Buzan (2014), bahwa yang utama pada seorang manusia adalah pikirannya, Cara berpikir yang sehat adalah kunci kemerdekaan. Oleh karena itu, yang perlu dimerdekakan dalam konteks kekinian adalah pikiran manusia Indonesia. Dengan modal cara berpikir yang merdeka itulah kemerdekaan di bidang-bidang lain seperti ekonomi, politik, dan juga kebudayaan bisa kita rengkuh dan kuasai tanpa kita kehilangan jati diri.
Bung Karno dalam sebuah pidatonya pada HUT Kemerdekaan RI tahun 1966 mengatakan “Apakah kelemahan kita: kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain
padahal kita ini asalnya adalah rakyat gotong royong”. Penjiplakan yang dimaksud oleh Bung Karno tentu saja
termasuk penjiplakan pola dan cara berpikir.
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan setelah kita berhasil memerdekakan cara berpikir kita dari cengkeraman pola pikir kolonialis adalah memerdekakan raga. Memerdekakan raga yang saya maksud adalah memantaskan pembangunan yang bersifat fisik di negeri ini. Dengan rel pembangunan yang berorientasi memerdekakan raga berarti kita membangun Indonesia dengan frame work kepatutan dan kepantasan.
Sebab betapa hari ini kita melihat kekacauan tata kota misalnya, adalah bukti sahih bahwa pembangunan di Indonesia masih jauh dari Kata laik, patut, dan merdeka. Frasa merdeka berarti frasa yang membawa kita setingkat melampaui dimensi hidup dasar nan dikotomis yang bernama benar salah. Jika pada frasa merdeka kita masih berbicara tentang benar dan salah dalam kehidupan ini, maka frasa merdeka ini berbicara satu tingkat di atasnya yakni soal kepantasan dan kepatutan.
Dimensi yang ingin digapai adalah dimensi estetik yang bermuara pada keindahan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemerdekaan atau kepatutan
adalah dimensi tertinggi yang harus dijadikan cita-cita bersama bangsa Indonesia pasca meraih kemerdekaan yang bahkan sudah berjalan selama 79 tahun ini. Sebab hidup yang bermartabat adalah hidup yang laik dan berhiaskan kepantasan.
Sebaliknya hidup yang hina dina adalah hidup di negara yang merdeka namun penduduknya masih berkalang kemískinan dan kebodohan. Alakullihal, merdeka jiwa adalah pekerjaan rumah kita bersama yang perlu kita renungkan dalam momentum kemerdekaan Republik Indonesia kali Íni.
Di pihak lain, setelah kita berhasil benar-benar merdeka jiwa dan pikiran kíta, hal terpenting yang harus dilakukan berusaha untuk merdeka raga dengan cara memantaskan martabat hidup seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali.