SUNAN KUDUS SEBAGAI PEMIMPIN DENGAN KEARIFAN LOKAL

Foto : Masjid Kudus, Sumber : Google.com

Setiap kalí orang mendengar nama Kudus, setidaknya ada dua bayangan terlintas di nama benak mereka. Pertama, Kudus dipersepsíkan sebagai sebuah komunitas yang lekat dengan basis sosial santri-Muslim. Hal ini tidak pernah lepas dari realitas keberadaan Sunan Kudus sebagai salah satu tokoh penyebar Islam di Pesisir Utara Pulau Jawa.

Hingga kíni artefak-artefak budaya yang diwariskan Sunan Kudus berupa sebuah komunitas santri-Muslim, bukan saja dapat ditemukan, bahkan menjadi salah satu identitas kultural masyarakat Kudus.

Kedua, Kudus dipersepsikan sebagai sebuah kota di Jawa Tengah yang memiliki ciri sosial-ekonomí yang khas. Rokok, jenang, soto, bordir, dan beberapa produk lainnya yang khas, akan dengan mudah membawa imajinasi seseorang terhadap Kudus.

Kegiatan perdagangan dan industri, baik yang berbasis rumah tangga skala kecil-menenengah, maupun industri modern berskala besar adalah pemandangan sehari-sehari bagi masyarakat Kudus.

Dua ciri khas Kudus itu, yaitu tradisi santri-Muslim yang taat, dan tradisi ekonomi perdagangan dan industri tidak bisa dilepas begitu saja dengan nama Sunan Kudus.

Bagi sebagian besar masyarakat Kudus dua ciri tradisi itu sangat diyakini sebagai sesuatu yang melekat pada diri Sunan Kudus pada zamannya.

Konon Sunan Kudus adalah seorang penyebar Islam yang faqih, dan sekaligus seorang pedagang yang ulet. Agaknya, hal inilah yang kemudian menjadi semacam stereotype wong Kudus, bahwa untuk bisa disebut sebagai wong Kudus, seseorang harus identik dengan dua ciri itu: sebagai santri-Muslim yang taat dan sekaligus sebagai pedagang yang ulet.

Selama ini terdapat anggapan yang cukup kuat bahwa tipe kepemimpinan berhubungan erat dengan corak masyarakat. Di satu pihak. tipologi seorang pemimpin ditentukan oleh corak masyarakatnya, dan di pihak lain tipe seorang pemimpin akan mempengaruhi corak masyarakatnya.

Atau dengan kata lain, baik buruk seorang pemimpin akan ditentukan oleh masyarakat yang akan memilih pemimpinnya, dan baik buruknya masyarakat juga akan ditentukan oleh perilaku pemimpinnya.

Berangkat dari anggapan semacam ini, corak masyarakat Kudus yang ditengarai sebagai masyarakat santri yang ulet berusaha dan berdagang tidak lepas dari peran historis kepemimpinan Kanjeng Sunan Kudus.

Watak independen yang sangat kental dimiliki oleh wong Kudus tentu ini berkaitan erat dengan watak santri yang tidak terlalu bergantung terhadap panguasa, dan berkaitan pula dengan sektor usaha swasta yang digeluti oleh wong Kudus itu sendiri.

Dari figur Sunan Kudus sebagai salah satu dari Walisongo yang aktif dalam penyebaran Islam di pesisir utara Jawa, kita bisa mencatat beberapa hal yang menonjol antara lain:

Pertama, Sunan Kudus dikenal sebagai seorang ulama fiqh yang handal dan kukuh memegang prinsip. Hal ini terlihat, menurut H.J.De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, dalam buku mereka berjudul Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Sunan Kudus yang bernama Ja’far Shadiq adalah salah satu imam-imam kelima-Masjid Demak pada akhir masa Sultan Trenggana dan pada awal masa Sultan Prawata.

Menurut dua sejarawan asal Belanda itu, Sunan Kudus keluar dari Demak dan pindah “mendirikan” Kota Kudus setelah ada perbedaan pendapat dengan Sultan Demak dalam penentuan tanggal awal bulan puasa.

Beberapa catatan tersebut menunjukkan bahwa Sunan Kudus adalah seorang wali yang menguasai fiqh dan sekaligus kukuh memegang prinsip, kendatipun harus berlawanan dengan penguasa.

Kedua, tradisi “tabu” menyembelih sapi bagi kalangan masyarakat Kudus, konon kabarnya adalah mengikuti sikap perilaku Sunan Kudus yang enggan menyembelih sapi karena sikap toleransi terhadap Kiai Telingsing, salah seorang pengikut Sunan Kudus yang semula beragama Hindu.

Demikian pula artefak budaya berupa bangunan Menara merupakan salah satu bukti betapa Sunan Kudus tidak segan-segan untuk mengadopsi tradisi arsitektur ini dikembangkan oleh kalangan pemeluk Hindu dan Buddha sebagaimana umumya bangunan candi peninggalan mereka.

Kendati pun Masjid Menara menggunakan nonmenklatur Arab, yaitu Masjid Al-Aqsa, namun menara masjid itu tidak mengadopsi tradisi arsitektur Arab, malahan beradaptasi dengan tradisi lokal.

Ketiga, Sunan Kudus juga dikenal sebagai Panglima Perang dan ahli strategi politik. Sunan Kudus pernah menjadi Panglima Perang ketika Kerajaan Demak terlibat dalam perang menaklukkan Kerajaan Majapahit. Ketika itu Sunan Kudus menggantikan posisi ayahnya (Sunan Ngudung) yang tewas dalam pertempuran.

Demikian dalam catatan sejarah atau cerita rakyat yang kita temukan dalam lakon ketoprak, Sunan Kudus selalu dikaitkan dengan tokoh Aryo Penangsang.

Konon Sunan Kudus diposisikan sebagai “penasihat politik” Aryo Penangsang dalam politik perebutan warisan kekuasaan Kerajaan Demak, yang akhirnya membawa perpecahan Kerajaan Demak.

Beberapa hal tersebut menunjukkan betapa Sunan Kudus ini adalah seorang figur yang menguasai benar ajaran dan prinsip Islam, mengerti politik dan kemiliteran. Oleh karenanya, pada tataran praktis, Sunan Kudus memiliki sikap toleran dan kearifan termasuk terhadap budaya lokal, di samping perannya yang diperhitungkan di bidang politik dan militer.

Maka tidak aneh jika bagi kaum Muslimin pesisir pantai utara Jawa, terutama masyarakat Kudus, figur Sunan Kudus dianggap sebagai tokoh panutan yang hingga kini masih relevan untuk dijadikan rujukan.

Dan setiap akan dilaksanakannya proses pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kudus, menelusuri jejak kepemimpinan Sunan Kudus pun menjadi penting.

Satu dan lain hal agar masyarakat Kudus, utamanya para tokoh yang berkompeten, mendapat gambaran tentang sosok pimpinan yang seharusnya dipilih: pimpinan yang arif dan mengerti karakter masyarakat yang akan dipimpinnya.[]

Oleh : KH.A. Mustofa Bisri (Ulama dan Budayawan)

Sumber : Koridor. Kompas 2010.