Tak Bisa Pulang Kampung “Sebuah Kisah di Negeri Antabrantah”

theconversation.com

Tak terasa Ramadhan sebentar lagi hendak meninggalkan kita. Semoga kepergiannya ikut menanggalkan banyak kekhilafan dan kesalahan yang telah kita perbuat. Sehingga kita,– manusia kembali menjadi suci dan bersih ibarat manusia yang baru lahir kemuka bumi ini dari rahim seorang perempuan yang penuh cinta kasih.

Setiap kali ramadhan hendak usai dan Idul Fitri menjelang. Ada ritual yang menjadi keharusan bahkan wajib bagi sebagian orang di negeri ini. Pulang kampung, bertemu dengan keluarga dan merayakan lebaran bersama adalah kebiasaan yang nampaknya sudah menjadi tradisi. Terlebih lagi bagi kami yang meninggalkan kampung halaman karena menempuh pendidikan di kota lain, sudah pasti pulang kampung dan bertemu dengan keluarga adalah ritual yang mesti kami lakukan setiap kali ramadhan ingin pergi.

Berkumpul bersama sanak keluarga di hari lebaran adalah salah satu momen yang begitu dinanti-nanti oleh hampir semua orang yang ada dinegeri ini. Sebab pada momen itu tentu saja, selain kita bisa saling bermaaf-maafan juga acapkali menjadi ruang paling syahdu untuk saling melepas rindu.

Kita tentu saja merindukan banyak hal. Suara ibu yang membangunkan ketika menjelang sholat id, aroma kopi bapak sepulang dari merayakan idul fitri dan senyum dari sanak keluarga dan sahabat dikampung halaman.

Akan tetapi sudah dua kali ramadhan, nampaknya ada begitu banyak yang tak bisa pulang ke kampung halaman dan bertemu dengan sanak keluarganya. Tak terkecuali para mahasiswa dan mahasiswi. Nampaknya covid – 19 masih belum bisa berdamai dengan semesta. Ia masih saja menjadi aral bagi sebagian orang untuk pulang dan berjumpa dengan keluarganya. Covid – 19 tak berkenan memahami rindu yang telah tumbuh berbulan – bulan lamanya, ia telah menciptakan jarak bagai mereka yang seharusnya bersama.

Di negeri ini covid-19 memilih untuk tetap tinggal dan kembali menjadi eksis saat lebaran hendak tiba. Sebab beberapan bulan sebelumnya, si covid – 19 ini sempat meredup dari kabar berita karena tertutupi oleh pilkada. Bahkan saat pilkada berlangsung, covid – 19 seperti di karantina dan tidak diperbolehkan keluar untuk bergabung ditempat – tempat kerumunan karena kampanye paslon. Hari itu, covid-19 seperti tak ada lagi di negeri antahbrantah ini.

Beberapa hari setelah pilkada, covid-19 kembali heboh dan menjadi trending topik di lini masa pemberitaan. Protokol kesehatan mulai kembali dikampanyekan agar dipatuhi. Vaksin tiba di negeri ini, orang- orang yang sudah terdaftar harus divaksin meski tak sedikit yang menolak. Seiring dengan pemberitaan itu, mall – mall tetap ramai, kedai kopi, cafe dan tempat wisata menjadi ruang berkerumun paling indah.

Hingga tiba pada sebuah pesta yang menghadirkan ribuan orang juga hadir kepala negara. Tak ada larangan berkumpul disana, sebab telah menerapkan protokol kesehatan. Kata salah satu staf kenegaraan dari negeri antabrantah itu.

Tak berselang lama, ramadhan tiba dan tentu saja waktu terus berjalan hingga lebaran menjelang. Lini masa internet dipenuhi berita perihal pelarangan pulang kampung atau mudik dua minggu sebelum dan seminggu setelah lebaran. Hanya ada beberapa kelaster tertentu yang diperbolehkan tentu dengan persyaratan – persyaratannya. Tapi dalam kelaster itu, tak ada satupun yang menunjukkan persyaratan bagi orang biasa kecuali ketika mereka memilih sakit, atau punya keluarga sakit atau meninggal. Akhirnya, banyak yang tak bisa pulang kampung.

Ada yang sudah tiba di perbatasan kotanya, namun diminta kembali oleh petugas. Dan ia mesti mengubur dalam – dalam keinginannya untuk bertemu keluarganya. Rindu di dadanya tentu saja sudah tumbuh begitu besar, sebab katanya sudah 2 ramadhan ia tak pernah kembali ke kampung halaman. Tapi tak ada sedikitpun diskon baginya. Aturan tetap aturan. Begitu kata para petugas itu.

Tapi barangkali kalimat itu hanya tepat digunakan bagi mereka yang biasa-biasa saja. Sebab di Bandara orang-orang lalu lalang. Orang mancanegara boleh datang dan masuk kenegeri ini, tetapi orang pribumi tak dapat melintas meski hanya ingin melalui perbatasan antar kota saja. Namun telah ada beberapa pendapat, katanya mereka yang dari luar negeri telah melalui protokol kesehatan.

Lalu jika seperti itu, mengapa kami orang-orang biasa juga tak diberlakukan persayaratan itu. Meski barangkali kemiskinan sudah menjalari kehidupan kami, tapi tentu saja bertemu dengan sanak keluarga adalah segalanya.

Tapi entahlah, aturan tetap aturan katanya. Yang boleh hanya yang beruang, orang  biasa semuanya serba rumit. Begitulah alkisah di sebuah negeri yang bernama antabrantah.

Beberapa hari lagi, ramadhan hendak pergi. Bagi sebagian orang, Pulang ke kampung halaman barangkali hanyalah mimpi.  Merayakan temu dan berpelukan hangat dengan sanak keluarga biarlah menjadi tabungan rindu untuk hari-hari mendatang. Semoga kelak semesta membaik, bukan hanya perihal covid – 19 akan tetapi juga segala aturan yang ada. Semoga suatu saat nanti, negeri antabrantah ini dapat memberikan ruang dan pelayanan yang sama kepada seluruh rakyatnya.

Akhirnya, sebagian orang yang merindu kembali harus menerima kenyataan bahwa lebaran kali ini tak ada pertemuan dan pelukan hangat dari orang – orang terdekat. Barangkali hanya doa yang akan terucap. Meski dari jauh, Tuhan pasti tak akan tega meminta malaikat untuk menahan doa itu diperbatasan kota. Sekalipun doa itu hanya dilangitkan oleh orang yang miskin dan tak punya apa – apa kecuali rindu.

Makassar, 08 Mei 2021