Waktu awal kuliah dulu, saya pernah punya teman sekamar. Namanya Rahmat. Cuma itu, tidak ada embel-embel lain. Kami berteman sejak bertemu di Jasbog (kantin kampus), kebetulan makan di meja yang sama. Kenalan, cerita ini-itu, lalu persahabatan mengalir begitu saja. Mungkin karena sama-san perantau, jadi lebih mudah akrab meski beda fakultas.
Kamar kos saya dan dia adalah kamar bersama. Saya di tempatnya berhari-hari atau sebaliknya, itu sering terjadi. Begitu juga pinjam baju untuk ke kampus, kalau tidak ada lagi baju layak pakai karena malas mencuci atau tidak sanggup beli sabun.
Suatu kali saya bertanya,”Mat, kau itu NU atau Muhammadiyah?”
Dia jawab,”Saya DDII.”
Saya bertanya lagi,”Apa itu?” Dia bilang,”Saya jelaskan pun kau tidak akan paham. Kau cari tahu sendiri saja….”
Kurang ajar juga ini anak, saya pikir. Tiba-tiba dia bertanya balik,”Kau Katolik, to?”
Saya jawab,”Yo’i. Kenapa?”
“Apa bedanya sama Kristen yang lain?”
Saya jawab,”Kau belajar sendiri, sana. Saya jelaskan juga kau tidak paham.”
Dia terbahak. Skor 1-1!
Sejak itu kami tidak pernah saling mengusik soal apa yang kami anut. Kecuali bahwa hari Minggu saya akan marah kalau dia tidak bangunkan saya pagi-pagi untuk ke gereja, atau dia balik marah kalau dia mau sholat dan kamarku masih berantakan.
Saya tidak pernah tahu atau mau cari tahu aktivitas keagamaannya sebagai anggota DDII seperti apa. Yang saya tahu, dia baik dan normal. Titik.
Suatu kali, dia datang ke kamar, bawa tang, kawat, pinset, lalu membongkar lemari dan mengambil rosario yang ada di situ. Rosario itu sudah cukup lama teronggok di sana, karena putus saat ditarik paksa senior waktu Ospek. Dia tahu cerita itu.
Dia mulai bekerja, menyambung kembali rosario tersebut. Hanya ada kalimat pendek darinya,”Bikin kopi, sana!”
Selesai, diserahkannya rosario ke saya, lalu bilang,”Biar kau jadi Katolik yang betul.”
Semester 4, dia menghilang. Pindah, tak tahu ke kota mana.
Selamat Idul Fitri Rahmat, di manapun kau sekarang berada!