THR

Ilustrasi : Alena Auralangie

Tersiar kabar hari ini THR (Tunjangan Hari Raya) dari pemerintah pusat cair.

Sebagai pegawai dari eselon rendahan seperti saya, pencairan THR adalah barokah besar yang sangat di tunggu-tunggu menjelang lebaran.

Uang THR sangat membantu memenuhi kebutuhan keluarga terutama dalam mempersiapkan acara istimewa di hari lebaran.

Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ini, melainkan kisah tentang masa kecil bersama teman-teman sebaya menerima uang dari keluarga atau handai taulan saat bersilaturahmi ke kediaman mereka.

Pemberian itu kami sebut THR. Sebagian teman menyebutnya Angpao. Ada juga istilah Salam Tempel. Disebut salam tempel karena begitu selesai salaman, sim salabim.. tiba-tiba ada yang menempel di tangan. Kayak permainan sulap

Namum bila dibandingkan dengan istilah Salam tempel atau Angpao.  Istilah THR lebih populer.

Biasanya selesai salat Idul Fitri, saya selalu diajak ibu berkumpul dengan keluarga besarnya. “Ini silaturahmi, nak.” Katanya setiap kali mengajak saya ke acara itu.

Saya selalu senang menyambutnya. Karena biasanya dalam acara itu akan nada pembagian THR pada anak-anak dengan jumlah yang besar.

Setiap kali usai mengikuti acara. Saya sering panen uang.

Tidak lama setelah tiba di tempat acara, biasanya kami langsung sibuk berburu makanan yang di hidangkan di beberapa meja.

Menjelang acara berakhir, biasanya Oom atau tante akan mengeluarkan beberapa lembar uang kiclong dari dalam amplop, kantong saku atau dompetnya. Tak jarang sekalian amplop berisi uang yang diberikan satu persatu kepada ponakan mereka.

Kalau sudah begitu kami segera paham itu adalah isyarat bahwa acara inti segera dimulai. Acara bagi-bagi THR.

Kami semua bersiap membuat barisan untuk salaman dengan Oom atau tante. Atrian pun dilakukan. Sambil membayangkan berapa isi amplop atau lembaran yang akan kami terima.

Umumnya ponakan terkecil lebih dahulu diberi kesempatan untuk salaman dan menerima THR. Lalu disusul usia diatasnya. Begitu seterusnya sampai antrian habis.

Entah mengapa, tiba-tiba Oom atau tante yang membagi THR terlihat ganteng dan cantik di mata kami saat itu? Hahaha

Sebagai ponakan yang tertua dalam keluarga, saya biasanya dapat giliran terakhir. Begitu giliran salaman tiba saya suka jaim. Pura-pura menolak. Padahal uangnya terlihat begitu menyilaukan mata dan membuat hidung kembang kempis.

“Iye, tidak usah om, tante. Terima kasih.” Saya coba mengelak.

“Ndak apa-apa nak. Ambil mi saja. Tidak boleh  menolak rezeki.” Kata si Oom yang menyodorkan THR.

Untungnya, si Oom bilang begitu. Kalau tidak. Bisa-bisa saya tidak tidur malamnya karena menyesal telah bersikap jaim dan berpura-pura menolak pemberiannya.

“Iye terima kasih pale Oom.” Saya terima THR kemudian berlari menemui sepupu yang sudah menunggu. Agenda berikutnya adalah murni acara anak-anak, para orang tua memberi kesempatan pada kami membuat acara sendiri.

Agendanya adalah berangkat mencari titik sasaran yang dituju untuk mengejar buruan THR berikutnya. Biasanya target itu adalah tetangga kami yang dermawan.

Dalam perburuan THR, juga memiliki strategi. Tidak asal-asalan semuanya harus dilakukan secara cepat, tepat dan terukur. Karena kami akan menghadapi banyak saingan.

Sementara ada hukum tak tertulis yang berlaku dalam persaingan. Siapa cepat itu yang dapat. Dan kami tak mau kalah dalam persaingan.

Banyak atau sedikit yang di dapatkan tak jadi masalah. Kami selalu puas. Selalu senang. Untuk bocah-bocah seusia kami jumlah bukan ukuran. Suasana batin yang utama. Yang penting hepi.

Bila perburuan selesai. Begitu sampai di rumah, tak bosan-bosannya saya menghitung hasil buruan sambil cengengesan lalu membuat rencana berikutnya. Membuat daftar barang dan mainan yang akan di beli dengan uang THR.

Ketika itu, dunia sungguh terasa indah.